Puisi, Orde Baru, dan Nasionalisme

Judul    : Sesobek Buku Harian Indonesia
Penulis    : Emha Ainun Nadjib
Penerbit  : Bentang Pustaka
Tahun    : Cetakan 1, Januari 2017
Tebal    : viii+124 halaman
ISBN    : 978-602-291-286-6
Peresensi  : Al-Mahfud
Penikmat buku, Bergiat di Paradigma Institute (Parist) Kudus.

Karya budayawan Emha Ainun Nadjib selalu menghadirkan hal yang menarik. Sesobek Buku Harian Indonesia berisi sehimpun puisi Cak Nun yang sebelumnya pernah diterbitkan pada tahun 1993 dengan judul yang sama. Kini, buku tersebut kembali dihadirkan penerbit Bentang Pustaka di awal tahun 2017 ini dengan wajah baru. Puisi-puisi dalam buku ini berisi ekspresi dan impresi Cak Nun tentang, dalam, dari, dan terhadap Indonesia yang ditulis kisaran tahun 1980-an sampai 1990-an. Pembaca bisa memfokuskan pada beberapa titik dalam menikmati puisi-puisi di buku ini. “Setiap pembaca merdeka memilih apa titik beratnya; puisinya, Indonesianya, sayanya, atau sobeknya,” tulis Cak Nun di pengantarnya.
Di sini, saya mencoba lebih fokus pada Indonesianya dan sobeknya (persoalannya). Artinya: bagaimana Indonesia dan segala persoalannya diteropong, direfleksikan, dan dianalisis Cak Nun lewat puisinya. Banyak hal tentang Indonesia dipotret Cak Nun dalam puisinya; problem sosial masyarakat, politik, ekonomi, pendidikan, nasionalisme, sampai tentang hak asasi dan toleransi, terutama dalam rentang tahun 1980-an hingga 1990-an. Meski sudah ditulis puluhan tahun silam dan merupakan rekam dan refleksi dari kondisi Indonesia di tahun-tahun tersebut, namun dengan menelusuri puisi-puisi tersebut, kita akan menyadari bahwa berbagai persoalan bangsa tersebut sampai saat ini masih terjadi dan-karena itu-kemudian masih relevan direnungkan.
Hal yang banyak terekam di puisi-puisi Cak Nun adalah kondisi negeri di bawah pemerintahan tiran. Ini wajar, sebab puisi-puisi memang ditulis pada kisaran tahun 1980-an dan 1990-an saat pemerintahan Orde Baru berkuasa. Puisi-puisi cenderung mengungkapkan kekecewaan, ketidakberdayaan, kemarahan, ironisme, bahkan pesimisme. Beberapa puisi memperlihatkan bagaimana kondisi suatu masyarakat yang diseragamkan dan “dibonsai” oleh penguasa. Simak sajak berjudul Syair Satu Penafsiran yang ditulis pada tahun 1983 berikut; Negeri dengan satu tangan/mengetuk jidatmu, untuk tunduk/dan bersekutu…Apakah kebenaran?/adalah kata kekuasaan/Apakah keadilan?/ialah sabda atasan.
Kondisi dibekap membuat rakyat tak berdaya karena kendali penguasa.  Dalam puisi berjudul Syair Darurat, tergambar bagaimana penguasa mampu melakukan apa pun dalam keadaan-keadaan yang dirasa akan mengancam posisinya. Meskipun harus menghilangkan nyawa. Sampai kapan kita hanya bisa menangisi/Perampokan dalam sunyi?/Segala keadaan/Bisa disebut darurat/Atas nama Tuhan/Kematian bisa dipercepat.
Nasionalisme dan persatuan
Hal yang menarik dan relevan diulas saat ini adalah isu-isu tentang kebangsaan, persatuan, dan toleransi. Kita tahu, saat ini isu-isu tersebut sedang menghangat mengingat banyaknya kejadian yang mengguncang dan menguji persatuan dan kesatuan berbangsa belakangan ini. Hal tersebut ternyata juga tak luput dari perhatian Cak Nun berpuluh tahun lalu. Dalam puisi berjudul Nasionalisme Burung-Burung terlihat Cak Nun berusaha mengkonstruksi pengertian nasionalisme Indonesia yang harus terajut dari rasa saling menghargai, toleransi, dan menjaga kemajemukan antar sesama warga bangsa.
Dengan metafor burung, Cak Nun seperti mengajak kita untuk bercermin melihat bagaimana sikap nasionalisme kita selama ini. Nasionalisme bukanlah tali ikatan antara satu jenis burung yang membedakan diri dari jenis-jenis burung yang lain/Nasionalisme adalah persentuhan getaran hati nurani seluruh burung-burung, seluruh burung-burung/… Puisi yang ditulis tahun 1989 tersebut seakan sudah meramalkan bahwa nilai-nilai persatuan akan menjadi hal yang penting untuk terus ditumbuhkan seiring perjalanan bangsa ini sampai kapan pun.
Bahwa bangsa ini terlahir dengan segala berbedaan dan kemajemukan yang sudah mengakar dalam masyarakat. Dan yang mengikat dan menyatukan perbedaan tersebut adalah rasa nasionalisme kebangsaan, yang dilandasi dengan sikap saling toleransi antar semua warga bangsa yang terus dijaga. Nasionalisme burung-burung adalah kesepakatan untuk menjaga kemerdekaan bagi seluruh anak alam/negara burung-burung adalah pembagian tempat untuk saling memerdekakan satu sama lain.
Sesobek Buku Harian Indonesia ibarat rekam suatu episode sejarah Indonesia yang diikat Cak Nun dalam sajak-sajaknya. Sajak-sajak yang mengantarkan kita pada kondisi Indonesia kisaran tahun 1980-1990 an. Meski sudah ditulis pada 20-30 tahun silam, renungan-renungan tentang Indonesia di dalamnya tetap memunculkan getaran yang masih sangat relevan diresapi hingga sekarang. Mengajak kita berpikir, merenung, dan belajar dari sejarah. Lewat puisi, kita diajak untuk tidak melupakan sejarah yang pernah terjadi.

                                                                                                       ————- *** ————–

Rate this article!
Tags: