Kekeringan, Krisis Pangan dan Ancaman Kesehatan Kekinian

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair

Sesuai prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa puncak musim kemarau terjadi September-Oktober 2023. Kondisi suhu musim kemarau yang panas di Indonesia sendiri dipicu fenomena El Nino dan IOD ( Indian Ocean Dipole) Positif, yang menyebabkan anomali kenaikan suhu dan berkurangnya curah hujan dari kondisi normal. IOD merupakan perbedaan suhu permukaan laut antara dua wilayah, yaitu di Laut Arab (Samudera Hindia bagian barat) dan Samudera Hindia bagian timur di selatan Indonesia sehingga dibutuhkan upaya mitigasi dengan mulai dari menghemat penggunaan air dalam aktivitas sehari-hari, Berdasarkan data BMKG bahwa wilayah-wilayah yang mengalami Hari Tanpa Hujan (HTH) kategori sangat panjang (31-60 hari) meliputi Ngawi, Pacitan, Kediri, Malang, Lumajang, Jember, Banyuwangi, Bojonegoro, Tuban, dan Sampang. Langkah-langkah mitigasi untuk menghadapi kemungkinan penyusutan air tanah serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Saat ini potensi kebakaran sangat tinggi mengingat kondisi cuaca yang amat terik dengan suhu sudah mencapai 40 derajat celsius. Pembakaran sampah yang sembarang baik diperkampungan, lahan hutan atau di ruang terbuka lain berrisiko menjadi pemicu kebakaran. Kondisi tersebut diperparah dengan sumber-sumber air yang kian menyusut tajam. Di sisi lain kekeringan yang meluas juga berpengaruh langsung terhadap produksi pangan dan tanaman hortikultura lain yang sangat membutuhkan asupan air. Harus ada Langkah strategis dan teknis untuk menjaga sentra-sentra produk pangan untuk antisipasi agar dampak El Nino tidak sampai membuat tanaman pangan gagal panen akibat kekeringan layanan irigasi secara maksimal untuk menjaga jumlah produksi.

Meski stok bahan pangan di Jawa Timur aman dengan surplus padi 9,23 persen per September 2023 namun jangan sampai terlena. Beberapa faktor yang memicu dampak kekeringan ekstrim antara lain : pertama, letak geografis. Indonesia berada tepat di garis khatulistiwa. Letak dari negara ini diapit dua benua dan dua samudera. Indonesia secara geografis juga terletak di daerah “monsoon” yang merupakan fenomena alam di mana sangat sering terjadi perubahan iklim secara ekstrem disebabkan perubahan tekanan udara dari daratan. Perubahan tersebut menyebabkan “jet steam effect” dari lautan yang menghempas daratan dengan hawa panas. Hawa panas dan angin tersebut membuat banyak daerah yang awalnya memiliki kandungan air, menjadi kering. Hal tersebut diperparah apabila musim kemarau tiba. Kedua, minim daerah resapan air. Fenomena alih fungsi lahan terbuka hijau yang digunakan sebagai bangunan tempat tinggal mempengaruhi kondisi dari cadangan air di tanah. Wajar saja, ketika tanah yang mampu menyerap air hujan harus tertutup oleh beton yang mengakibatkan air tidak dapat meresap ke dalam tanah. Semakin sedikitnya cadangan air dalam tanah akan memberi dampak buruk berupa bencana kekeringan

Ketiga, perilaku yang boros air. Boros dalam penggunaan air tanah ternyata berimbas pada kekeringan di beberapa daerah. Dampak boros air tersebut semakin parah ketika kemarau tiba. Biasanya, penggunaan air berlebihan ini bisa disebabkan kebiasaan menggunakan air untuk rumah tangga yang berlebihan atau penggunaan air dalam jumlah besar oleh para petani untuk mengairi sawah. Jika dilakukan terus menerus akan berdampak pada habisnya cadangan air. Keempat, curah hujan rendah. Salah satu penyebab terjadinya kekeringan yang umum terjadi di Indonesia disebabkan oleh perubahan iklim yang membuat hujan menjadi jarang turun. Karakteristik topografis berupa rendahnya curah hujan tersebut diakibatkan rendahnya tingkat produksi uap air dan awan. Apabila sangat hujan yang turun sangat sedikit, maka musim kemarau akan menjadi semakin lama dan kekeringan akan melanda.

Kelima, kerusakan hidrologis. Kerusakan hidrologis yaitu kerusakan fungsi dari wilayah hulu sungai karena waduk dan pada bagian saluran irigasinya terisi sedimen dalam jumlah yang sangat besar. Akibatnya, kapasitas dan daya tampung air akan berkurang sangat drastis dan hal tersebut akan memicu timbulnya kekeringan saat datangnya musim kemarau. Keenam, fenomena global warming. Global warming atau yang berarti pemanasan secara global, memang telah menjadi penyebab terjadinya kekeringan terbesar tidak hanya di Indonesia, namun hampir di seluruh dunia. Memang, penyebab dari timbulnya Global Warming sangat beragam, mulai dari polusi kendaraan dan pabrik, hingga penggunaan berbagai zat kimia berbahaya.

Dampak Nyata Kesehatan
Salah satu dampak yang timbul adalah gangguan kesehatan. Musim kemarau panjang dan kekeringan ekstrem meningkatkan risiko polusi udara atau tingkat polutan dalam bentuk asap yang mudah tersebar luas yang terhidup masuk ke seluruh metabolism tubuh sehingga dapat memicu berbagai penyakit terutama sistem pernafasan. Kondisi tersebut mudah memperburuk penyakit pernafasan kronis. Krisis air bersih juga sangat signifikan memicu dehidrasi dimana asupan cairan yang kurang akan menimbulkan risiko organ vital seperti otak dan jantung. Selain itu dapat menimbulkan sederet komplikasi mulai dari kejang, gagal ginjal, syok hipovolemik hingga berujung kematian. Di samping itu sangat beriisko juga meningkatkan sejumlah penyakit dan meningkatkan risiko penyebaran wabah penyakit seperti leptospirosis, diare, dan kolera. Peluang kejadian penyakit ini akan semakin meningkat ketika terjadinya kekurangan air untuk sanitasi atau kekeringan jika kondisi tersebut tidak ditangani secara nyata dan komprehensif. Semoga bencana kemarau panjang dan kekeringan yang tengah melanda sejumlah besar tanah air dapat segera berakhir.

————– *** ————–

Tags: