Kemendikbud Jangan Bikin Gaduh Pendidikan di Daerah

Kontradiktif dengan Raperda
Komisi 1 DPRD Kota Probolinggo menyoroti penerapan sekolah lima hari yang direncanakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Kajian akan dilakukan karena rencana itu dinilai kontradiktif dengan Raperda Pendidikan Keagamaan yang sebentar lagi segera dibahas DPRD setempat.
“Kami akan kaji dulu pelaksanaan sekolah lima hari ini. Apalagi kebijakan ini juga masih mentah karena belum jelas model kurikulum yang akan diterapkan nantinya,” kata Ketua Komisi 1 DPRD Kota Probolinggo Abdul Azis, Senin (19/6).
Azis mengakui kebijakan Kemendikbud ini akan bertentangan dengan kondisi pendidikan di masyarakat, yakni keberagaman pendidikan. Selama ini menurutnya, penyelenggaraan pendidikan telah berjalan harmonis antara sekolah umum dan keagamaan.
“Bahkan, kebijakan yang tengah kita rancang dalam Perda juga akan menjadi korban dari kebijakan Mendikbud yang tidak melihat realitas masyarakat,” ujarnya.
Lebih jauh, politisi PKB ini menjelaskan, selama ini pengendali masyarakat di lingkungan adalah moralitas. Moralitas salah satunya dipertahankan melalui guru-guru yang dekat dengan masyarakat.
“Dalam hal ini adalah guru-guru mengaji di lingkungan. Kalau sekolah umum itu jarang yang mengendalikan lingkungan, karena mereka sekolah formal. Kalau sudah selesai ya pulang,” katanya.
Azis memastikan akan melihat lebih dahulu aturan dari pelaksanaan sekolah lima hari ini. Karena sampai saat ini, masih sebatas wacana dari Mendikbud. “Bagaimana model kurikulumnya dan teknis pelaksanaannya seperti apa? Apakah sekolah lima hari ini sudah termasuk dalam sekolah keagamaan juga,” paparnya.
Sementara itu, Abdul Malik Haramain, anggota Komisi VIII DPR RI menyarankan agar Kemendikbud mengkaji kembali kebijakan sekolah lima hari yang akan dikeluarkan. “Kebijakan penerapan sekolah lima hari ini akan berpengaruh pada proses pendidikan madin yang ada di ponpes,”ujarnya.
Selain itu, kebijakan ini akan kontra dengan aturan yang ada di daerah. Seperti di Kabupaten Pasuruan yang memiliki Perda Wajib Madin.  “Jangan sampai karena libur dua hari malah menambah jam mengajar. Jika jam mengajar bertambah, maka anak sekolah sampai sore. Sedangkan sore waktunya siswa masuk madin,” katanya.
Lebih lanjut Abdul Azis mengungkapkan DPRD Kota Probolinggo meminta kebijakan lima hari sekolah dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)  dibatalkan.  Sekolah yang dikenal dengan Full Day School (FDS) ini, dirasa sangat merugikan lembaga pendidikan non formal, seperti Madrasah Diniyah (Madin) dan Taman Pendidikan Al-quran (TPQ).
Abdul Azis secara tegas menilai kebijakan tersebut akan membunuh keberagaman model penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, yang telah berjalan berabad-abad lamanya sebelum Indonesia merdeka.
Disarankannya Mendikbud fokus memikirkan pemenuhan delapan standar pendidikan yang telah ditetapkan pemerintah sebelumnya. “Pak menteri harus arif dan melek realitas pada berbagai lapisan masyarakat,” tandasnya.
Sebagai wakil rakyat, pihaknya banyak menerima keluh kesah dari pengelola madrasah diniyah dan TPQ, berkaitan dengan kebijakan Mendikbud tersebut. “Banyak guru dan ustadz yang resah dengan rencana itu,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Kabupaten Probolinggo juga menyuarakan hal yang sama. Sekolah Senin-Jumat yang akan diberlakukan tahun ajaran baru 2017/2018, diyakini bakal membunuh madrasah diniyah (madin) dan Taman Pendidikan Al-quran (TPQ). Sebab sekolah Senin-Jumat juga menambah jam pelajaran hingga sore menjadi 8 jam.
“Kalau dilaksanakan, sama halnya kita membubarkan TPQ dan Madin se-Indonesia. Padahal lembaga ini telah ada jauh sebelum kemerdekaan,” tambah Ketua Pergunu Abdul Mujib Qudsi. [tam,ris,wap]

Tags: