LSF dan UMS Gelar Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri

Dr Thoat Setiawan MHI, Saptari Novia Stri SH, Dr Ma’aruf Sya’ban ST SE Mak, Hardly Stefano Fanelon Pariela SE MKP, Mukayat Al Amin Msosio dan dua staf LSF, berfoto bersama dengan semua peserta dengan mengacungkan simbol literasi.

Surabaya, Bhirawa
Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF RI) menggelar Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri di Provinsi Jawa Timur bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya di Ballroom A lantai 5 Hotel Movenpick Surabaya, Selasa (30/4).

Sosialisasi Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri bertajuk ‘Memilah dan Memilih Tontonan’ diikuti sekitar 100 peserta terdiri dari mahasiswa, Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam (PAI), Himpunan Guru PAUD Surabaya, SMK Muhammadiyah 1 Surabaya, konten kreator, Komunitas Film, wartawan, serta alumni mahasiswa UM Surabaya.

Hadir Wakil Rektor III Bidang Inovasi, Sumber Daya Manusia, Kemahasiswaan dan Alumni UM Surabaya Dr Ma’aruf Sya’ban ST SE MAk, serta Sekretaris Komisi II Lembaga Sensor Film Republik Indonesia, Saptari Novia Stri SH, dengan menghadirkan narasumber Dewan Pengawas LPP TVRI Hardly Stefano Fanelon Pariela SE MKP, Sekretaris Komisi I LSF Republik Indonesia Mukayat Al Amin MSosio, serta Dekan Fakultas Agama Islam UM Surabaya Dr Thoat Setiawan MHI.

Menurut Sekretaris Komisi III LSF, Saptari Novia Stri SH, sosialisasi ini merupakan program LSF yang merupakan Gerakan Nasional Sensor Mandiri yang sudah dicanangkan tahun 2020/2021 diharapkan program ini terus berlanjut. Dalam program ini juga ditandatangani MoU antara LSF dan UMS, bahkan tidak hanya dengan UMS saja tetapi juga ada universitas lain yang juga ditandatangani MoU hingga Sosialisasi Sensor Mandiri.

“Jadi LSF ini merupakan lembada independen yang tugasnya melakukan penelitian dan penilaian terhadap film dan iklan film yang akan diedarkan dan dipertunjukkan kepada khalayak umum, maka setiap film yang mengandung kaidah senematografi ini wajib disensorkan di LSF untuk mendapatkan surat tanda lulus sensor film. Kami pun juga bekerja sama dengan lembaga penyiaran dalam melaksanakan tugas sensor film,” jelas Saptari Novia.

Maka, tegas Saptari Novia, LSF berharap program ini terus disosialisasikan sehingga tidak berhenti pada sosialisasi ini saja, tetapi diharapkan peserta sosialisasi yang hadir juga dapat menyampaikan kepada keluarganya, terutama adik – adiknya, untuk dapat memilah dan memilih tontonan sesuai dengan klasifikasi usia, sebab LSF mempunyai empat jenis penggolongan usia yakni untuk Semua Umur (SU), 13 ke atas (13+), 17 ke atas (17+) dan 21 ke atas (21+), dan dalam bekerja pun LSF tidak lepas dengan Peraturan Perundang – undangan, yakni UU Nomor 33 tahun 2009, PP 18, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bahkan tidak terlepas juga dengan UU lainnya, seperti UU Pornografi, UU Narkotika, serta UU yang menyangkut Harkat dan Martabat Manusia.

“Maka ketika film itu akan diedarkan dan dipertunjukan pada masyarakat maka harus memiliki Surat Tanda Lulus Sensor (STLS). Itulah adalah bukti film itu sudah bisa dipertunjukkan kepada masyarakat, sehingga ketika diputar di bioskop dan tiba – tiba ada protes dari masyarakat maka pihak LSF bisa menjadi mediasi, tetapi bila tidak ada STLS maka LSF tidak bisa apa – apa,” tegasnya.

Wakil Rektor III Bidang Inovasi, Sumber Daya Manusia, Kemahasiswaan dan Alumni UM Surabaya Dr Ma’aruf Sya’ban ST SE Mak menambahkan, sensor terhadap film perlu ditingkatkan dalam hal tentang kebijakan agar dalam sensor film itu tidak hanya pada perfilman bioskop saja, tetapi juga pada tayangan – tayangan yang saat ini serba online, mulai tayangan berbayar maupun non berbayar, seperti adanya Netflix, Apple TV dan platform – platform lainnya, yang tentunya Lembaga Sensor mempunyai bergaining dari sisi membatasi tayangan yang sesuai dengan budaya dan nilai – nilai, misalnya isu – isu tentang SARA. ”Maka dengan adanya LSF ini tayangan – tayangan itu bisa dilakukan filterisasi dengan sosialisasi budaya. Maka ini awal kita bisa memilih dan memilah secara cerdas tayangan yang sesuai dengan Budaya Indonesia,” tandas Doktor Ma’aruf Sya’ban. [fen.why]

Tags: