Menakar Komitmen Media di Tahun Politik

Oleh :
Suhartoko
Praktisi Kehumasan dan Pegiat di Jaringan Literasi Indonesia (Jalindo) 

Ketika menghadiri undangan Sarasehan Birokrasi di Dyandra Convention Center Surabaya, Kamis, 20 Desember 2018 lalu, saya tertarik pada pernyataan Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, terkait positioning yang seharusnya diambil oleh pengelola media massa, khususnya para jurnalisnya. Pakde Karwo, demikian sapaan akrab Gubernur Soekarwo, hadir dalam sarasehan yang dihelat dalam rangka HUT ke-50 Harian Bhirawa ini sebagai keynote speaker.
Pernyataan Pakde Karwo yang menyedot perhatian saya adalah agar media massa tidak menceburkan diri dalam politik praktis. Pernyataan yang lebih bersifat saran ini dalam pandangan saya: mengisyaratkan bentuk keprihatinan atas merebaknya fenomena media massa begitu memasuki tahun politik. Fenomena yang ia maksudkan adalah banyaknya media partisan –termasuk media mainstream– yang memosisikan diri sebagai corong untuk menyukseskan kontestan pemilu, baik untuk pemilihan anggota legislatif, kepala daerah, termasuk presiden dan wakil presiden.
“Media jangan ikut masuk ke politik praktis. Jangan! Karena politik praktis itu seni ketidakpastian. Kalau ada calon yang mau membeli halaman untuk iklan, silakan, nggak papa. Tapi, jangan lantas ikut memberikan bumbu-bumbu, misalnya dengan mengatakan, ‘Pilihlah karena saya tahu dia memang baik dan layak dipilih’. Media jangan ikut-ikutan begitu,” pesan Pakde Karwo.
Hati kecil saya sempat tak percaya, bahwa pernyataan itu keluar dari lisan Pakde Karwo, yang selain gubernur Jatim adalah juga salah seorang petinggi partai papan atas, Demokrat. Namun, saya segera menyimpulkan, kehadirannya bukan didapuk mewakili partai, tetapi sebagai orang nomor satu di Jatim, yakni gubernur. Di sinilah sikap profesional ditunjukkan oleh gubernur Jatim dua periode ini. Meski ada peluang untuk menyelinapkan muatan politis partainya, pria berkumis ini justru membuangnya jauh-jauh. Bahkan dengan tegas ia minta media massa menjaga jarak dengan laku dan kepentingan politik praktis.
Konsekuensi Industrialisasi Pers
Frase ‘seni ketidakpastian’ sebagaimana dilansir Pakde Karwo memang layak disematkan pada dunia politik. Betapa tidak. Kerasnya dinamika yang lazim mewarnai perjalanan para politisi, memungkinkan terjadinya perubahan secara cepat dan tak jarang berlangsung dramatis. Karier politik pelakunya bisa begitu cepat melejit mengatrol ke tangga kesuksesan. Namun, di saat hampir bersamaan tiba-tiba jatuh ke tangga terbawah. Level puncak gunung sebagai kebanggaan para pendaki karier akhirnya menjadi tipis-tipis saja dengan jurang yang menjerembabkan mereka pada posisi yang menyedihkan. Inilah tafsir seni ketidakpastian dalam dunia politik.
Karena itu, sebagai salah satu penjaga dan pengawal pilar demokrasi, wajar kiranya kita berharap agar media masa (pers) tidak ikut-ikutan larut dan menjadi partisan dalam politik praktis. Harapan ini tentu tidak berlebihan di tengah makin langkanya media massa menjaga marwah independensinya. Sebab, menemukan media massa yang benar-benar netral dan tidak terkontaminasi kepentingan politis saat ini, merupakan hal yang “sesuatu banget”.
Di internal pengelola media massa, dualisme kepentingan antara menjaga ruh jurnalistik dan bisnis, kerap menempatkannya pada posisi dilematis. Ruh jurnalistik yang digawangi jajaran redaksi cenderung bersifat ideal dalam mengelola informasi untuk publik pembaca atau pemirsanya. Di kutub lain, kepentingan bisnis juga tak bisa diabaikan terkait keberlangsungan perusahaan pers dan mengamankan kesejahteraan karyawannya. Di sinilah profesionalitas pengelola media massa diuji. Ke mana kecondongan diarahkan, di situlah eksistensi dan kebijakan sebuah institusi pers bisa dibaca.
Tidaklah heran pada setiap hajatan politik yang ditandai oleh pemilihan umum (pemilu), baik untuk memilih calon anggota legislatif, bupati/walikota, gubernur, atau presiden sekalipun, pengelola media massa sering tergoda untuk menafikan peran kontrolnya untuk kepentingan publik, karena konsensi ekonomis berupa iklan. Kondisi makin parah ketika owner atau petinggi media massa ternyata juga pemain politik lewat partai yang dipimpin atau dikendarainya. Di sinilah peran media massa terpasung dan tergadai untuk kepentingan politis dan bisnis.
Media massa (baca: jajaran redaksi) tidak merasa tabu lagi untuk “bermesraan” dengan politik praktis sebagai pilihan kebijakan keredaksian sekaligus menjalin relasi bisnis, meski harus mengorbankan dan mencabut ruh jurnalistiknya. Kalau sudah demikian, fenomena jurnalis terlibat politik praktis di tengah tugas kesehariannya dan juga jurnalis merangkap sebagai pencari iklan menjadi pemandangan yang lumrah dan dianggap sah-sah saja. Inilah konsekuensi rasional industrialisasi pers yang menempatkan institusi media massa dan jurnalisnya sebagai bagian dari subsistem industri atau perusahaan.
Maka, tatkala di tengah himpitan industrialisasi pers saat ini, ada yang menyuarakan perlunya independensi dan profesionalitas media massa, ini merupakan oase di tengah sahara yang kerontang. Semoga dari setitik oase mengalir ghirah pers yang mampu membuktikan dirinya sebagai penjaga dan pengawal pilar demokrasi sekaligus memberikan kontribusi positif bagi pembangunan bangsa dan negara.

———- *** ———-

 

Tags: