Meneropong KUHP Baru

Oleh :
Alfian Dj
Staf Pengajar Muallimin Yogyakarta; Mahasiswa Program Doktor Fak Hukum UII

“Justitia est ius suum cuique tribuere”
Keadilan diberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.

Disahkannya Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana ( RKUHP ) menjadi undang undang oleh DPR merupakan akhir dari perjalan panjang gagasan dan pembahasan perlunya Indonesia memiliki KUHP yang bener benar lahir dari rahim bangsa Indonesia,

Pembahasan RKUHP dicetuskan tahun 1963 dalam Seminar Hukum Nasional I di Semarang, pengesahan Rancangan KUHP baru diketok DPR pada tanggal 6 Desember 2022. pada sidang paripurna pengesahan tersebut hanya diikuti sebagian kecil anggota secara langsung, sedangkan anggota lainnya mengikuti secara darring.

Lahirnya KUHP harusnya menjadi titik awal biduk hukum pidana di Indonesia, tetapi kehadirannya justru dianggap menjauhkan nilai nilai demokratis, begitu pemerintah mengumumkan pengesahannya banyak kalangan langsung mengkritisi dan memberikan catatan mendasar terhadap pasal demi pasal yang ada dalam KUHP.

Sejumlah pasal dikhawatirkan dapat membatasi hak mendasar termasuk didalamnya hak privasi warga negara, salah satunya ancamam kebebasan pers yang selama ini telah berjalan baik seperti yang diamanatkan UUD 1945 dan juga Undang undang No 40 tahun 1999 Tentang Pers.

Sebelum disahkan banyak kalangan telah memberikan masukan, diharapkan masukan tersebut dapat menjadi catatan dalam proses penyusunannya, jumlah pasal dalam Rancangan KUHP beberapa kali mengalami perubahan, pada juni 2019 berjumlah 646 pasal September menyusut menjadi 628, pada Juli 2022 632 pasal, November menjadi 627 dan di bulan Desember ada 624 Pasal.

Pengesahan Rancangan KUHP menyisakan pasal pasal bermasaalah yang sebelumnya telah diberi catatan oleh beberapa kalangan. Dewan Pers telah menyoroti adanya ancaman kebebasan pers dalam KUHP baru tersebut, setidaknya ada 17 pasal yang di yakini akan menjadi pisau tajam bagi pers, pasal tersebut meliputi pasal 188 berisi penyebaran dan pengembangan ajaran Marxisme-Lenimisme atau yang bertentangan dengan pancasila, catatan dewan Pers terkait kalimat bertentangan dengan pancasila dapat bermakna luas dan menjadi pasal karet yang multi tafsir.

Pasal 218, 219 dan pasal 220 terkait penyerangan kehormatan atau harkat presiden dan wakil presiden, ada juga pasal 240 dan pasal 241 terkait penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara, ketentuan dalam pasal ini adalah delik aduan, dapat berlaku bila yang melaporkan adalah yang bersangkutan langsung, akan tetapi ujung pangkalnya adalah presiden merasa aman dari ancama sedangkan masyarakat menjadi ragu untuk melakukan kritikan dan mengekpresikan pendapatnya secara terbuka, padahal hal tersebut dijamin oleh kontitusi.

Ketentuan senada sebelumnya termuat dalam pasal 134, 136, dan 137 dalam KUHP lama telah dihapus MK seperti yang tertuang dalam putusan No.013-022/PUU-IV/2006, pasal tersebut dianggap dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena rentan manipulasi dan tafsiran yang berbeda.

Disamping itu masih ada pasal 263 menyangkut penyebarluasan berita bohong, pasal 264 menyiarkan berita yang tidak pasti dan tidak lengkap, pasal 280 gangguan dan penyesatan proses peradilan, pasal 300, 301, 302 terkait tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan, pasal 433 pencemaran atau penyerangan kehormatan agama dan kepercayaan, 436 penghinaan ringan, 439 pencemaran nama orang yang sudah meningal, pasal 594 dan 595 terkait dengan tindak pidana penerbitan dan percetakan.

Disamping itu Koalisi Masyarakat Sipil juga menyuarakan ketentuan pasal 100 terkait vonis mati baru dijatuhkan dengan masa percobaan 10 tahun, pasal 256 terkait pemberitahuan untuk unjuk rasa, pasal 598 dan 599 menyangkut pengusutan kasus tindak pidana berat yang mengancam hak asasi manusia.

Koalisi Nasional Anti Kekerasan terhadap perempuan juga menyoroti terkait tindak pidana pencabulan sebagai masaalah kesusilaan, defenisi pornografi yang menggunakan istilah eksploitasi seksual, ada juga sorotan beberapa pasal lainnya sampai dengan tindak pidana perzinahan yang tercantum dalam pasal 411-413, aturan ini dikhawatirkan berpotensi menimbulkan polemik di masyarakat.

Walaupun telah disahkan, KUHP baru akan diberlakukan tiga tahun setelahnya, untuk menyiapkan penerapannya pemerintah akan membentuk tim khusus yang terdiri dari pejabat kementerian, akademisi, jaksa, polisi, dan juga para pakar hukum yang terlibat dalam penyusunan RKUHP, Tim akan melakukan sosialisasi KUHP, selanjutnya pemerintah juga menyampaikan bagi masyarakat yang berkeberatan terhadap KUHP bisa mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi dengan disertai alasan yang reasonable.

Saat ini semua harus belajar kembali isi KUHP dari awal, hadirnya KUHP diharapkan benar benar dapat melahirkan hukum yang reformatif, progresif, responsif serta mampu menjamin tegaknya keadilan yang berlandaskan konstitusi dan nilai nilai luhur bangsa Indonesia.

Kehadiran KUHP harus mampu menjawab tujuan dari pembentukan hukum yang meliputi adanya kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan didalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga kekhawatiran akan adanya dekolonialisasi atau neokolonialisme benar benar bisa tepis.

——— *** ———-

Rate this article!
Meneropong KUHP Baru,5 / 5 ( 1votes )
Tags: