Menyorot Polemik Jaminan Hari Tua

Belakangan ini, publik kembali dihebohkan terkait soal kebijakan pembayaran manfaat jaminan hari tua (JHT), pasalnya dana JHT yang awalnya bisa langsung cair pada saat peserta resign, kena PHK, atau saat tidak lagi menjadi WNI. Namun, justru kini kebijakan pembayaran manfaat JHT baru dapat dicairkan pada usia 56 tahun. Jika ditilik ke belakang, upaya pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menahan dana JHT milik pekerja hingga usia pensiun sebenarnya pernah dilakukan di tahun 2015 silam alias di periode pertamanya.

Realitas itupun, kini sontak menjadi sorotan publik. Terlebih, regulasi pembayaran JHT yang terbaru tertuang jelas dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua. Perubahan pembayaran JHT tersebut, seolah mengembalikan memori publik terkait aturan pencairan JHT di tahun 2015, yang saat itu didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No 46 Tahun 2015. PP itu sendiri merupakan implementasi dari UU No 40 Tahun 2004. Melalui regulasi yang ada tersebut, justru pemerintah ternilai kurang sosialisasi.

Alhasil keputusan pemerintah mengubah mekanisme pencairan JHT malah mendapat respon negatif dari masyarakat. Mestinya, pemerintah mensosialisasikan komitmennya dalam memberikan pelindungan menyeluruh dari segala tahapan kehidupan peserta, dengan memberikan penjelasan tentang pentingnya pencairan JHT saat memasuki hari tua. Harapannya peserta masih mempunyai dana saat memasuki masa tua. Tujuan tersebut tidak akan pernah tercapai, bila dana masa tua sudah diambil semuanya sebelum datangnya hari tua.

Termasuk sosialisasi skema pelindungan yang akan mengcover kondisi pencairan JHT terkait adanya hak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak peserta atas Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), termasuk juga manfaat uang tunai dengan jumlah tertentu di samping adanya akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja. Itu artinya, polemik pencairan JHT tidak harus terjadi, jika dari awal pemerintah melakukan sosialisasi kalau penerbitan Permenaker No.2/2022, tidak dimaksudkan untuk menyulitkan peserta.

Masyhud
Pengajar FKIP Universitas Muhammadiyah Malang.

Rate this article!
Tags: