Senja

Oleh
Anggalih Bayu Muh Kamim

Tatapannya mulai meredup. Asap menyebul dari lubang mulutnya. Rokok kretek memang jadi hiburannya menemani kopi hangat di pagi hari. Keseharian Pak Blontang memang selalu dimulai dengan duduk manis di bawah pohon mlinjo. Bangun tidur bukannya untuk menggerakkan tulang-tulangnya yang mulai rapuh justru dipakainya untuk leyeh-leyeh.
Pak Blontang memang tak lagi hijau sama seperti mayoritas penduduk kampung Galarama. Istrinya sudah tiada dua tahun lalu. Dia kini bersama rekan-rekan seusianya mencoba menikmati sisa-sisa hidup. Penduduk yang berusia lebih muda dari Kampung Galarama memilih pergi dari desanya untuk mengadu nasib ke luar daerah bahkan negeri lain. Orang tua di kampung itu memang sedari kecil memang mendorong anak-anaknya untuk mencari penghidupan di tempat lain.
Memang tidak banyak sumber penghidupan di kampung Galarama. Hanya mereka anak dari keluarga petani yang punya lahan luas, keturunan pemimpin desa dan perantau sukses lah yang bisa hidup berkecukupan di kampung itu. Pengisian jabatan aparat desa seperti kami tuwo, modin, jagabaya, dukuh dan kepala kampung pun biasa diisi oleh lingkaran keturunan pejabat sebelumnya. Orang kecil seperti Pak Blontang sulit untuk dapat mendapatkan sumber penghidupan di kampungnya sendiri.
Itulah sebabnya sejak anaknya kecil, Pak Blontang giat menyisakan uang dari hasil panen kebunnya untuk ditabung. Tabungannya dipakai untuk membiayai sekolah anak semata wayangnya, Si Markun. Pak Blontang ingin Markun mendapatkan pendidikan yang layak, agar bisa pergi dari desanya untuk mencari pekerjaan. Sejak Markun masih kecil, Pak Blontang selalu terbayang anaknya bisa menjadi buruh di kota yang mempunyai gaji tetap. Berbeda dengan dirinya yang hidup dari bertani dan kadang kalau tidak cukup harus mencari tambahan dengan menjadi kuli bangunan. Begitulah yang ada di pikirannya sejak lama.
Semenjak lulus dari sekolah kejuruan, Pak Blontang selalu mendorong Si Markun untuk merantau. Alhasil sejak masih belia, Markun harus meninggalkan kampung Galarama. Beruntung sesampainya di kota, Markun langsung mendapatkan pekerjaan sebagai buruh pabrik elektronik. Semenjak Markun bekerja di kota setidaknya sekali dalam setahun, dia akan kembali ke kampung untuk menengok orang tuanya. Markun juga tidak lupa mengirimkan uang untuk Pak Blontang untuk membiayai hidupnya di kampung Galarama.
Situasi agak berbeda. Markun sudah tiga tahun tidak kembali ke kampungnya. Masalah tersebut yang membuat ibunya jatuh sakit dan kemudian meninggal dua tahun lalu, karena rindu dan memikirkan anaknya yang tidak kembali ke kampung. Semenjak tiga tahun lalu pula, Markun tidak mengirimkan uang kepada orang tuanya di kampung Galarama. Sempat terdengar kabar burung kalau Markun sudah menikah dengan gadis pujaannya di kota. Orang tuanya sempat ingin menyusul ke kota begitu mendengar kabar tersebut, namun bagaimana lagi Pak Blontang tidak punya uang. Pak Blontang dan istrinya menjadi tidak bisa melihat anaknya yang sudah menikah di kota.
Pak Blontang menjadi harus mengantungkan hidup dari bantuan keponakannya yang bekerja di luar negeri. Beruntung keponakan itu masih peduli dengan Pak Blontang sebagai pakdenya. Pak Blontang masih terbayang nasib anaknya di kota sampai sekarang. Hal tersebut yang membuatnya setiap pagi leyeh-leyeh memikirkan keadaan keluarganya. Biasanya kawan lamanya, Cak Basman menemaninya leyeh-leyeh sampai pukul sembilan. Kebetulan keadaan Cak Basman lebih bugar dan masih bekerja sebagai petani di usianya yang sudah uzur. Dulu mereka biasa bercengkrama di tegalan, kini mereka biasa berbincang ngalor ngidul di pekarangan Pak Blontang.
Kebetulan pagi itu Cak Basman belum terlihat batang hitungnya. Pak Blontang sebenarnya sudah menyiapkan kopi pahit dan kretek sebagai hidangan bagi obrolan kakek-kakek pagi itu. Pak Blontang sampai sudah menghabiskan kopinya ternyata Cak Basman belum juga muncul. Pak Blontang ingin sekali mencurahkan perasaannya kepada Cak Basman pagi itu. Dulu sewaktu istrinya masih hidup, sebenarnya Pak Blontang jarang mau membagi keluh kesahnya kepada orang di luar keluarganya. Kini situasi sudah lain, Pak Blontang hidup sebatang kara. Dia mulai mau berbagi cerita dengan kawannya, karena tidak mau menahan sendiri beban hidupnya.
“Heh………… la po, Cak, pagi-pagi kok melamun gitu, se,” kata Cak Basman yang tiba-tiba datang sembari menepuk pundak Pak Blontang.
“Oalah, awakmu to, Man, aku kira siapa? Aku tunggu dari tadi kok enggak datang-datang,” sahut Pak Blontang dengan agak kaget.
“Kenapa lagi to, Cak? Jangan banyak pikiran gitu sih…..”
“Awakmu itu, aku tunggu dari tadi…. udah aku siapin sesaji juga buat kamu itu ada kopi pahit sama kretek, kok enggak datang-datang sampai kopiku udah habis,” kata Pak Blontang dengan perasaan kesal.
“Sabar, Cak, tadi baru selesai njemur baju, ada apa sih kok tiap hari kok ada yang dipikirkan. Soal si Markun lagi?”
“Lha iya…… soal anakku, si Markun. Kok enggak ngasih kabar atau gimana gitu lho.”
“Kan…. aku udah bilang, Cak. Mbok ya coba ditelpon si Markun iku. Biar sampeyan enggak ngersulo terus-terusan,” Cak Basman mencoba menenangkan.
“Ditelpon gimana? Kon kok sukannya guyon to? Aku enggak punya telpon apa handphone, uang aja minta keponakan,” Pak Blontang menjadi ketus.
“Ya, apa coba tanya ke keponakanmu, Cak, lewat kirim surat. Kan kalau dapat kiriman uang ya biasa dapat wesel to dari keponakanmu?”
“Kirim surat? Lha keponakanku aja enggak tahu alamatnya si Markun itu di mana? Emang kebangetan kok si Markun itu enggak mau ngasih kabar ke orang tuanya, apa udah lupa sama orang tuanya?” Pak Blontang menjadi sedih.
“Ya….. jangan suuzan kayak gitu, Cak. Kan di kampung ini juga enggak ada yang tahu itu keadaan si Markun itu sebenarnya kayak apa? Mau disusul kan sampeyan juga enggak punya duit sama enggak ngerti alamat kan?” Cak Basman mencoba mendinginkan keadaan.
“Kok nasibku gini banget ya, sudah ditinggal anak sama istri. Anak masih hidup, tapi enggak tahu kabarnya,” Pak Bontang bertambah melas.
“Yang sabar, Cak. Sampeyan enggak sendiri, aku juga ngerasain yang sampeyan rasain, Cak. Sutikno, anakku udah dua tahun enggak balik kampung tilik aku. Enggak tahu itu anak di kota gimana kabarnya. Itu kan yang buat aku ambek dua tahun ini kerja maneh jadi petani buat nyambung hidup, Cak. Sabar……” Cak Basman mencoba menenangkan Pak Blontang dan menjelaskan kalau yang dia tidak merasakannya sendiri.
Pak Blontang yang mendengar penjelasan Cak Basman menjadi trenyuh. Dia mengusap air matanya yang dari tadi keluar, karena mengingat nasib anaknya. Dia sadar kalau yang dia rasakan juga kawannya sendiri rasakan. Coba saja Cak Basman sejak lama menceritakan keadaan keluarganya mungkin Pak Blontang tidak akan begitu terus setiap pagi. Mungkin Pak Blontang juga akan bergerak kembali bekerja dan tidak mengantungkan hidupnya dari bantuan keponakannya di luar negeri. Dia menjadi terbayang bahwa sepertinya ada yang salah dengan penghidupan di kampung Galarama. Dia tidak ingin menyalahkan siapa pun. Pak Blontang menjadi teringat kalau yang dirasakan dia dan Cak Basman juga dihadapi penduduk lain seusianya di kampung Galarama.
Banyak penduduk kampung itu yang tetap harus bekerja di usianya yang tidak lagi muda. Bagaimana lagi, kehidupan harus terus berjalan. Generasi muda yang merantau ternyata tidak menjamin nasib keluarganya akan membaik. Pak Blontang menjadi teringat cerita dari penduduk lain yang bercerita kalau anaknya yang merantau justru harus bertahan hidup di kota dengan gaji terbatas dan biaya hidup mahal. Beberapa penduduk lain sama seperti Pak Blontang sama sekali tidak mendapat kabar mengenai anaknya yang telah merantau ke kota. Pak Blontang menjadi menatap Cak Basman dengan tatapan serius dan tertarik melanjutkan obrolannya pagi itu.
“Lho…….. Cak, ada apa kok sampeyan jadi memelototi aku gini,” Cak Basman menjadi heran.
“Bener awakmu, Man, kalau gitu aku besok mau kembali kerja di sawah, supaya enggak gini-gini terus. Kok ya sepertinya, perantau sukses dari kampung ini tu ya yang dari keluarganya penggede,” Pak Blontang penasaran.
“Ya…….. bisa jadi, Cak, soalnya pendidikan mereka lebih bagus, beda dengan anak-anak kita yang cuma lulusan sekolah kejuruan. Ya bagus, Cak, kalau balik ke sawah. Kenapa sampeyan enggak mulai sekarang aja, itu bantu-bantu panen padi di sawahku,” kata Cak Basman memberi penawaran kepada Pak Blontang.
“Oh…… ya boleh, kalau gitu tak ganti celana pendek sama ambil caping dulu.”
“Oh ya monggo, Cak, aku tunggu, ayo bareng-bareng kerja. Masalah anak didoakan aja, semoga mereka enggak kenapa-napa. Jangan bersedih terus, Cak, bikin cepat tua.”
“Bikin cepat tua, gimana? wong, aku ini emang udah tua kok kamu itu. Sik…. aku masuk dulu.”
“Udah sana-sana….. Cak, aku tunggu,” Cak Basman pun mulai menyeruput kopi hitam yang sudah dingin sembari menunggu Pak Blontang mengambil caping dan berganti celana.

Tentang Penulis :
Anggalih Bayu Muh Kamim
Lahir di Sleman pada 14 Juni 1997. Besar dari lingkungan yang sedang mengalami perubahan agraria secara massif membuatnya sering menulis mengenai masalah petani, agraria, lingkungan, ekonomi sumber daya alam dalam berbagai esai, artikel ilmiah, karya tulis ilmiah maupun karya sastra sebagai wujud refleksi atas apa yang terjadi di sekitarnya. Kini sedang menikmati masa-masa menjadi penulis independen.

———– *** ————

Rate this article!
Senja,5 / 5 ( 1votes )
Tags: