TNI Jaga Civil Society

Selama dua dekade terakhir, TNI (Tentara Nasional Indonesia) terbukti sukses memperkokoh suasana civil society. Walau tidak mudah mengawal euphoria supremasi sipil. Pada masa kini TNI (Tentara Nasional Indonesia) tidak bisa hanya tinggal di barak. Melainkan harus “melayani” kepentingan rakyat, sebagai operasional militer selain perang. Termasuk memperkuat ketahanan kesehatan masyarakat, dan mengawal “aset pedesaan” (hewan ternak) dari ancaman yang merugikan perekonomian rakyat.

Maka marwah TNI wajib dijamin dengan profesionalisme, dan kesejahteraan prajurit. Sehingga Marwah TNI di-wacana-kan perlu disokong regulasi, terutama undang-undang (UU). Antara lain melalui wacana revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia. Yakni, memperluas “lapangan pengabdian” TNI, yang semula pada 10 Kementerian dan Lembaga Negara, menjadi 18 instutusi. Tetapi banyak kritisi, yang mengkhawatirkan bakal kembali pada konsep Dwi Fungsi ABRI pada zaman orde baru.

Dwi Fungsi ABRI pada masa lalu (sebelum reformasi tahun 1998), memberi jalan lempang prajurit menduduki jabatan politik. Sekaligus tetap aktif sebagai prajurit. Mulai jabatan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sampai jabatan komisaris di perusahaan milik negara. Jabatan politik, dan segala jabatan yang diraih personel, tidak perlu mengundurkan diri (pensiun). Sejak tahun 1983 hingga 1998, tiga personel jenderal, menjadi Wakil Presiden.

Pada zaman Orde Baru, banyak Menteri berasal dari ABRI. Bahkan sebagai Ketua BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), dan Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Serta Gubernur di pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur), juga selalu dijabat personel dari TNI. Juga berbagai Gubernur di seantero pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Begitu pula Bupati, dan Walikota, pada daerah yang “subur” umumnya dipimpin prajurit TNI berpangkat Kolonel, dari berbagai kesatuan (dan Polri).

Era presiden Jokowi, personel TNI telah menempati beberapa pos jabatan tinggi. Termasuk Lembaga Negara (Badan Nasional). Termasuk BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Juga terdapat Kementerian non-matra militer, yang dipercayakan kepada personel militer (pensiunan militer). Antara lain Menteri Agraria (mantan Panglima TNI), dan Menteri Kesehatan (diduduki personel TNI-AD berpangkat Letnan Jenderal). Serta Kepala Staf Kepresidenan, diberikan kepada Jenderal Moeldoko.

Sebagian jabatan yang dipercayakan kepada personel TNI saat ini, tidak tercantum dalam UU TNI. Terutama berkait pasal 47 ayat (2), dinyatakan, “Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.”

Walau sebenarnya yang dimaksud pasal 47 ayat (2), bukan selalu sebagai pimpinan tertinggi Lembaga Negara (Badan), dan Kementerian. Terbukti pada pasal 47 ayat (3), dinyatakan, “Prajurit yang menduduki jabatan … didasarkan atas permintaan pimpinan departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen dimaksud.” Terdapat frasa kata “atas permintaan pimpinan departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen.”

Amanat pasal 47 ayat (2), sudah terealisasi secara baik. Begitu pula keinginan menambah pejabat tinggi untuk personel TNI, sudah terealisasi. Walau pengangkatan jabatan Menteri, dan Lembaga Negara, menjadi wewenang (prerogatif) Presiden. Sebagai Kepala Negara, Presiden memiliki kewenangan yang diberikan konstitusi. Terutama tercantum dalam UUD pada pasal 4, pasal 10, pasal 13, pasal 16, dan pasal 17. Kewenangan Presiden berdasar UUD tidak dapat di-intervensi oleh UU.

——— 000 ———

Rate this article!
TNI Jaga Civil Society,5 / 5 ( 1votes )
Tags: