100% PTM : Generasi Muda Menjadi Korban?

Oleh :
Rokhmat Subagiyo
Dosen Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

Selama dua tahun, pandemic Covid-19 sudah berlangsung. Masyarakat global juga capek dengan pandemi dalam jangka waktu Panjang ini. Dengan cepatnya penularan virus Covid-19 menyita waktu dan energi. Ditambah dengan ketidakpastian kebijakan pemerintah untuk memerangi wabah tersebut. Strategi yang dikeluarkan selalu simpang siur dan cepat dan tidak efektif.

Ketidakmampuan untuk memerangi pandemi terjadi juga dalam bidang Pendidikan. Diawali dua tahun lalu saat mulai merebaknya pandemi, untuk mengurangi dan mencegah penularan virus covid-19m kegiatan belajar mengajara secara tatap muka dihentikan dan diganti dengan pembelajaran secara online. Siap atau tidak siap, mau atau tidak mau, hampir semua sekolah di Indonesia melakukan pembelajaran secara online. Hal ini sebenarnya sangat sulit dilakukan di luar perkotaan,

Berbagai hambatan pembelajaran online dihadapi baik oleh siswa maupun guru. Kesulitan tersebut antara lain komputer dan smartphone yang terbatas karena berbagai alasan, antara lain harga komputer dan smartphone yang mahal, jaringan internet yang lambat atau tidak ada, harga kuota internet yang tinggi, kondisi rumah yang kurang mendukung, dan orang tua yang tidak sepenuhnya bisa memberikan solusi atas kendala yang muncul. Semua kendala tersebut menyebabkan hampir semua siswa di Indonesia belajar mundur.

Tenaga Ahli utama KSP Abraham Wirotomo mengatakan bahwa PJJ berkontribusi terhadap kemunduran belajar siswa. Bahkan, banyak pelajar yang mengalami penurunan prestasi akademik akibat pembelajaran online. (nasional.kompas.com, 29/1/2022).

Diperkuat riset terbaru Bank Dunia menunjukkan penutupan sekolah akibat pandemi COVID-19 telah menurunkan kualitas pembelajaran siswa. Kondisi ini bisa memengaruhi hilangnya pendapatan seumur hidup semua peserta didik generasi saat ini hingga $17 triliun atau setara dengan Rp 42,7 triliun (nilai tukar Rp14.280/USD) (katadata.co.id, 10/01/2022).

Di beberapa negara, peningkatan rata-rata kehilangan pembelajaran bertepatan dengan penutupan sekolah. Kerugian akibat penutupan sekolah diperkirakan lebih besar bagi siswa matematika dibandingkan siswa membaca.

Peserta didik dari negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah lebih mungkin menderita dalam hal kehilangan pendapatan seumur hidup. Memang, siswa di negara-negara ini harus menutup sekolah mereka lebih lama daripada di negara miskin dan maju.

Tingkat kemiskinan akademik di negara-negara miskin dan berpenghasilan menengah telah mencapai 53% sebelum pandemi. Sementara itu, dengan sekolah ditutup karena Covid-19, tingkat ketidakmampuan belajar kemungkinan mencapai 70% (unicef.org, 27/10/2020) .

Pertengahan tahun 2021, pandemi mulai mereda, walaupun belum sepenuhnya berakhir. Vaksinasi juga telah ditingkatkan di seluruh wilayah Indonesia. Kondisi ini membuat pemerintah memutuskan untuk membuka kembali sekolah dengan kewajiban mematuhi protokol kesehatan yang ketat. Pembelajaran tatap muka ini dilakukan untuk menghindari keterlambatan pembelajaran lebih lanjut. Pembelajaran tatap muka (PTM) perlahan mulai diterapkan 100%. Sebisa mungkin lanjutkan dengan normal. Sayangnya penerapan PTM 100% belum maksimal, ternyata muncul varian baru virus Covid-19, Omicron.

Pemerintah mempertimbangkan 100% keputusan PTM untuk menghadapi virus Covid-19 varian baru yang disebut dengan Omicron. Dunia Pendidikan dibuat bingung dalam menghadapi ini. Sebelumnya pemerintah bersikeras untuk menerapkan 100% PTM. Malahan, usulan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan untuk menghentikan PTM 100% ditolak oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan, M.P.A (cnnindonesia.com, 3/02/2022). Akan tetapi, kasus Covid-19 di Indonesia dalam beberapa hari terus meningkat

(https://www.bbc.com/indonesia/indonesia, 4/02/2022). Melihat keadaan ini, pemerintah terpaksa mengambil tindakan cepat dengan mengeluarkan kebijakan menghentikan pembelajaran tatap muka (PTM) 100 persen (https://www.liputan6.com/, 6/02/2022).

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Suharti mengatakan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan beberapa kementerian lainnya telah sepakat untuk memberikan hak diskresi bagi daerah yang berstatus PPKM Level 2 dari 3 Februari 2022. Kata ‘bisa’ ditegaskan. Artinya, untuk wilayah PPKM Level 2 sudah siap menerapkan PTM terbatas di bawah SKB 4 Menteri , dan penyebaran Covid-19 terkendali, sekolah masih bisa lakukan pembatasan MTP pada kapasitas 100%,” jelas Suharti seperti dikutip dari situs Direktorat Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Riset dan Teknologi, Jumat ( 4 Februari 2022) Suharti menambahkan, sesuai dengan kondisi saat ini Syaratnya, orang tua bisa memilih anaknya mengikuti PTM terbatas atau melanjutkan pendidikan jarak jauh (PJJ) (detik.com, 04/02/2022)

Menilik kebijakan ini, muncul anggapan bahwa pemerintah tidak mampu mengambil sikap tegas. Lebih lanjut, pemerintah masih belum bisa memberikan solusi nyata untuk memfasilitasi dan menjamin keberlangsungan proses belajara yang efektif dan berkualitas. Dalam hal ini, sebenarnya pemerintah justru memberikan kebebasan kepada sekolah dan orangtua untuk memilih sistem pembelajaran yang sesuai dengan keinginan mereka. Di sisi lain, banyak orang tua seperti orang kebanyakan tidak dapat membuat keputusan dengan pertimbangan yang objektif dan informatif. Hal ini dapat dipahami karena pemerintah menyerah dan memberikan tanggung jawab jaminan pendidikan kepada masyarakat.

Pemerintah harus mampu membuat kebijakan yang tegas dan solutif. Dengan menimbang semua dampak positif dan negatif, tetapi pula mengambil semua risiko kebijakan. Memberikan pelayanan yang terbaik untuk menjaga para siswa, generasi penerus negara, agar tidak tertinggal dalam studi mereka. Berani membayar tagihan yang besar dan tidak lagi memperhitungkan untung-rugi anggaran.

Sesuai dengan amanat konstitusi tertuang dalam UUD 1945 bahwa tugas dan kewajiban negara dan dasar negara Pancasila, negara bukan hanya sekedar pengatur yang mengawasi kehidupan masyarakat. Namun, negara juga sebagai pengambil kebijakan dan fasilitator utama, terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat, termasuk pendidikan. Jika masalah pendidikan ini dibiarkan terus, siapa yang akan menjadi korban pada akhirnya? Tak lain adalah generasi penerus bangsa. Bukan tidak mungkin generasi kita selanjutnya akan menjadi generasi yang inferior baik secara intelektual maupun moral.

Implikasi kebijakan wajib 100%PTM, negara perlu menyiapkan sarana yang diperlukan bagi setiap orang untuk mematuhi prokes. Negara berani memutuskan, juga harus berani bertanggung jawab hal ini, berkewajiban memenuhi kebutuhan peralatan dan fasilitas sekolah untuk mendisiplinkan setiap warga sekolah sesuai prokes. Apabila negara tidak bersedia menyediakan peralatan kesehatan untuk setiap satuan pendidikan, maka akan terjadi kesenjangan. Ini dikarenakan, kemampuan masing-masing individu dalam memfasilitasi anak-anak mereka berbeda-beda.

Negara berkewajiban untuk menjamin, melaksanakan dan melindungi masyarakat khususnya warga seklolah (guru, pelajar dan pegawai). Oleh karena itu, negara harus mengutamakan keselamatan rakyatnya, terutama generasinya, dari risiko COVID-19 tanpa memandang status sosial atau jabatannya. Setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang sama dan hak serta fasilitas yang sama.

Wallahu a’lam bishshawab.

——— *** ———-

Tags: