Darurat Sampah Makanan

Wacana “Indonesia Emas” 2045 menjadi pengharapan dengan keunggulan SDM (Sumber Daya Manusia). Bahkan Pasangan Calon (Paslon) Presiden dan Wakil Presiden dalam Pilpres 2024, mengusungnya sebagai isu. Antara lain dengan program “makan siang gratis” dan bagi-bagi susu dalam kemasan di car free day. Supaya terbentuk generasi sehat. Namun ironis, Indonesia tergolong memiliki sampah makanan terbesar di dunia, bernilai ratusan trilyun rupiah.

Andai sampah makanan bisa di-minimalisir, dan didonasikan. Maka wacana “Indonesia Emas” 2045, bisa diupayakan lebih lempang. Diharapkan pada tahun 2045 bangsa Indonesia benar-benar memiliki SDM yang cukup berpendidikan (minimal sekolah 12 tahun), dan berbadan sehat. Harus dimulai dari sekarang. Selain juga keunggulan bonus demografi. Penduduk Indonesia akan lebih banyak. Sehingga cukup disegani (secara politik, dan ekonomi).

Meng-gunung-nya sampah makanan di Indonesia menjadi pemandangan paradoks dengan jumlah penduduk miskin.yang sulit meng-akses makanan yang cukup. Masih sebanyak 26 juta jiwa dari kalangan keluarga miskin harus bergelut mencari makan. Ironisnya, sampah makanan di Indonesia ditaksir sebanyak 40-an juta ton (tahun 2022). Dengan kecenderungan tahun 2023 naik 12%. Terutama di kota-kota besar, dan perkotaan “satelit” yang baru tumbuh pesat.

Semakin banyak tumbuh warung nasi, semakin banyak sampah makanan terbuang sia-sia. Pada tahun 2023, juamlah sampah makanan ditaksir sudah lebih dari 46 juta ton. Diperkirakan setiap orang membuang sampah makanan yang setara dengan Rp 2,1 juta per-tahun. Berdasar analisis “Kompas” nilainya mencapai Rp 330 trilyun. Jika nilai smapah makanan diberikan kepada rakyat miskin, maka setiap orang bisa menerima Rp 12,69 juta.

Maka untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, tidak perlu dengan program makan siang gratis. Juga tidak memerlukan bagi-bagi susu di car free day sebagai kampanye (karena melanggar Peraturan Pemprop DKI). Indonesia lebih membutuhkan “kesadaran” porsi makan. Niscaya dibutuhkan manajemen usaha kuliner. Terutama pengurangan porsi yang bisa dikonversi untuk donasi warga miskin. Manajemen porsi wajib melekat seperti pajak konsumsi, bagian dari PPN (Pajak Pertambahan Nilai).

Jika PPN restoran dipungutkan secara langsung kepada konsumen, maka pajak manajemen porsi dikenakan langsung kepada restoran dan warung makan. Bila perlu tertulis label “makan disini sekaligus berdonasi 10% dari porsi menu makanan.” Pemerintah Daerah bisa menagih setiap bulan. Pada awalnya akan trerasa sulit. Serta bertabrakan dengan upah jasa persampahan. Karena sampah bekurang.

Sampah makanan, tidak bisa dianggap sepele. Disebabkan memiliki efek Gas Rumah Kaca (GRK) sangat besar. Berdasar data World Resources Institute (WRI), emisi gas rumah kaca dari sampah makanan menyumbang 8% dari emisi global. Sebagian besar emisi gas yang dihasilkan adalah gas metana. Memiliki potensi 25 kali lebih tinggi dibanding karbon dioksida (CO2) dalam meningkatkan pemanasan global.

Indonesia sudah darurat sampah makanan. Berdasar data SIPSN (Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional) mencatat sampah sisa makanan Indonesia mencapai 46,35 juta ton. Menduduki posisi terbesar ketiga, setelah Amerika Serikat dan Tiongkok. Jumlah sampah makanan yang dihasilkan melebihi sampah plastik (26,27 juta ton). Ironinya, masalah sampah tidak hanya menjadi isu lingkungan, namun juga menjadi isu politik global.

Efek GRK pada sampah makanan belum terjangkau hukum. Padahal sudah terdapat UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Juga terdapat UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sehingga pemerintah (dan daerah) seyogianya lebih peduli mengelola sampah makanan, dengan kaidah pemuliaan, dan pemanfaatan (ekonomi).

——— 000 ———

Rate this article!
Darurat Sampah Makanan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: