“Hutang” Kesejahteraan

Foto Ilustrasi

Jawa Timur tetap menjadi pilar penyokong nasional selama 75 berturut-turut. Terutama menyokong ketersediaan pangan, dan kedamaian sosial. Sejak awal (tahun 1945, Jawa Timur menjadi penentu kedaulatan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui aksi perang 10 November, yang sangat heroik, dan dikenang dunia. Pada masa wabah pandemi, Jawa Timur juga “bersedih” karena tercatat sebagai salahsatu penyimpan “zona merah” paling banyak. Namun cepat bangkit.
Hari awal berkantornya gubernur, Raden Mas Tumenggung (RMT) Soerjo. Yakni, 12 Oktober 1945, dicatat sebagai hari jadi Propinsi Jawa Timur. Walau sebenarnya, sidang PPKI telah mengumumkan RMT Soerjo (salahsatu anggota PPKI) sebagai gubernur beberapa hari sebelumnya. Sampai kalangan KNID (Komite Nasional Indonesia, semacam DPRD saat ini) mendesaknya segera berkantor. Karena jabatan gubernur tidak boleh dibiarkan kosong, berpotensi direbut kembali oleh penjajah.
Hari pertama Gubernur (yang pribumi) masuk kantor, bukan hal yang menyenangkang Raden Mas Tumenggung (RMT) Soerjo. Walau sangat mem-bangga-kan, karena pribumi berhasil berpemerintahan sendiri. Namun suasana perang merebut kemerdekaan masih berkobar. Penjajah Belanda belum mengakui kemerdekaan RI. Sampai saat ini, juga tidak mudah memimpin daerah propinsi dengan penduduk lebih dari 41 juta jiwa.
Dalam suasana transisi kenegaraan tahun 1945, belum ada APBD. Belum ada gaji pegawai pemerintah propinsi. RMT Soerjo, adalah salahsatu pejuang dan masih memiliki garis trah keturunan kerajaan Mataram (kelanjutan Majapahit Islam). Tak salah Presiden Soekarno memilihannya sebagai gubernur Jawa Timur mengganti pejabat Belanda. Momentum bulan Oktober 1945 juga memiliki nilai filosofis dan heroik nasionalisme, berkait menolak ancaman tentara Sekutu.
Mengawali kerja ke-gubernur-an, simpanan uang hasil pajak sebagai kas daerah juga belum ada. Gaji gubernur beserta seluruh staf, dihitung dengan standar hidup susah. Tetapi gedung kantor Gubernur (grahadi) sudah dimiliki. Modal gedung pemerintah sangat penting untuk menggerakkan roda pemerintahan pada zaman awal kemerdekaan.
Keadaan saat ini telah jauh berbeda. APBD Jawa Timur (tahun 2020) mencapai Rp 33 trilyun. Dan pegawai-nya konon, memiliki penghasilan tergolong tinggi pada tataran PNS pemerintah propinsi se-Indonesia. Diharapkan seluruh pegawai (dan pejabat) bisa bekerja profesional. Namun tetap tidak mudah meng-elegan-kan Jawa Timur, terutama “beban” menyangga lumbung pangan nasional.
Ironisnya, hingga kini indeks NTP (Nilai Tukar Petani) masih berkisar pada angka 102. Padahal NTP menggunakan standar tahun 2012. Selama delapan tahun (2012-2020), inflasi secara akumulatif sekitar 36%. Seharusnya, NTP tumbuh berseiringan laju inflasi, sudah mencapai (minimal) 136. Artinya, saat ini usaha ke-pertani-an, tergolong tertinggal. Infeseable, petani rugi.
Motto Jer Basuki Mawa Bea (kesejahteraan diperjuangkan dengan bekal memadai), masih harus terus dikumandangkan. Pada usia ke-75, Jawa Timur memang sudah nampak makmur. Tetapi bukan berarti pemerintah propinsi telah berprestasi. Melainkan hasil kerja keras seluruh rakyat Jawa Timur. Tetapi belum “berbuah” menyejahterakan.
Salahsatu prestasi, adalah ke-taat-an membayar pajak. Terutama Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB). Kedua jenis pajak menjadi pilar utama PAD (Pendapatan Asli Daerah). Sesungguhnya masih terdapat potensi penghasilan “tersembunyi” yang bisa digali. Masih diperlukan kerja lebih keras seluruh aparat pemerintah propinsi Jawa Timur. Terutama “mendongkrak” APBD sampai 100%. Bukan mustahil, tetapi tantangan.
APBD yang lebih besar akan menambah berbagai program fasilitasi usaha rakyat. Termasuk pembangunan infrastruktur perekonomian, antaralain, pelabuhan, dan fasilitasi pemasaran produk lokal. Jargon Nawa Bhakti Satya, masih memerlukan inovasi sistemik, dan masif menuju Jer Basuki Mawa Bea. [ist]

Rate this article!
Tags: