Kuatkan Sinergi Wujudkan Pendidikan Inklusif

Oleh :
Asri Kusuma Dewanti
Dosen FKIP Univ. Muhammadiyah Malang

Penerapan sekolah inklusi di berbagai daerah kini menarik untuk disoroti, pasalnya ada indikasi bahwa penerapan sekolah inklusi hanya sekedar pelabelan saja. Bahkan, label sekolah inklusi seolah hanya sebuah ilusi. Padahal, mestinya harus ada perluasan aksesibilitas penyandang disabilitas untuk mengenyam pendidikan. Melihat kemungkinan yang demikian, maka penulis tertarik sekali menyampai gagasan sebagai kontribusi pemikiran sekaligus solusi agar pendidikan inklusif ini tidak sekedar label belaka.

Sekolah inklusi cuma ‘Ilusi’
Setiap individu adalah unik dan memiliki keistimewaan masing-masing, sekalipun dia mengalami hambatan atau berkebutuhan khusus. Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) juga mempunyai hak yang sama seperti siswa lainnya, sehingga dalam hal pendidikan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 sampai 5 UUD 1945 mengatur tentang kewajiban dan hak warga negara Indonesia dalam pendidikan, kewajiban pemerintah di bidang pendidikan dasar dan sistem pendidikan, dan anggaran pendidikan nasional.

Melalui regulasi UUD 1945 tersebut, setidaknya menyadarkan semua pihak dan pengelola pendidikan untuk tidak diskriminatif terhadap peserta didik termasuk pada anak sebagai peserta didik penyandang disabilitas. Selaras dengan makna esensial dari pendidikan inklusif yakni sebagai sistem layanan pendidikan yang mengatur agar peserta didik dapat dilayani di sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Tanpa harus dikhususkan kelasnya, peserta didik dapat belajar bersama dengan aksesibilitas yang mendukung untuk semua peserta didik tanpa terkecuali.

Itu artinya, penyandang disabilitas harus mendapatkan hak untuk mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu. Pada satuan pendidikan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan secara inklusif dan khusus. Pasalnya, bagaimanapun juga komitmen dan layanan terhadap disabilitas merupakan ukuran terhadap kemajuan peradaban sebuah bangsa.

Realitas tersebut, setidaknya mengingatkan semua pihak bahwa penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama baik sebagai penyelenggara pendidikan, Pendidik, Tenaga Kependidikan, maupun Peserta Didik. Seperti yang telah diatur dalam UU nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan PP nomor 13 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas. Bahkan untuk menguatkan regulasi tersebut telah diterbitkan pula Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas (RAN PD) sebagai Instrumen Perencanaan dan Penganggaran dalam rangka Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.

Merujuk data statistik, angka kisaran disabilitas anak usia 5-19 tahun adalah 3,3%. Sedangkan jumlah penduduk pada usia tersebut (2021) adalah 66,6 juta jiwa. Dengan demikian jumlah anak usia 5-19 tahun penyandang disabilitas berkisar 2.197.833 jiwa. Kemudian, data Kemendikburistek _cut off_ Agustus 2021 menunjukkan jumlah peserta didik pada jalur Sekolah Luar Biasa (SLB) dan inklusif adalah 269.398 anak. Dengan demikian presentase anak penyandang disabilitas yang menempuh pendidikan formal baru sebesar 12.26%.

Itu artinya, masih sangat sedikit dari yang seharusnya dilayani. Realitas tersebut, tentu tidak bisa dibiarkan pasalnya jika dibiarkan maka tidak salah jika agenda pemerintah terkait komitmen wujudkan sekolah inklusi di negeri ini berpotensi besar hanya sekedar sebuah ilusi dengan sedikit aksi dan implementasi.

Strategi pembudayaan inklusif
Sudah selayaknya setiap orang mendapatkan akses ke pendidikan yang sama. Sebab, pendidikan itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, serta prosesnya berlangsung sepanjang hayat. Oleh sebab itu, pendidikan merupakan hak dasar manusia, dan pendidikan harus dimiliki setiap orang. Begitu juga dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), yaitu mereka yang memiliki keterbatasan fisik, psikis, atau intelektual.

Sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 2, setiap warga negara yang memiliki keterbatasan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak mendapatkan pendidikan khusus. Dan, untuk memenuhi hak tersebut, pemerintah telah memfasilitasi berbagai layanan pendidikan bagi ABK. Seperti, Sekolah Khusus (SKh), Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Pendidikan Inklusif (PI). Berbeda dengan SKh atau SLB, pendidikan inklusif memberikan kesempatan bagi siswa berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan siswa pada umumnya. Dan, agar pendidikan inklusif ini berjalan maksimal selaras dengan ditargetkan pemerintah, maka berikut inilah beberapa strategi pembudayaan pendidikan inklusif.

Pertama, mengedepankan prinsip keberagaman. Artinya, memahami adanya perbedaan individu dari sisi kemampuan, bakat, minat, dan kebutuhan siswa, sehingga pembelajaran bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik. Sehingga dari situ, Bapak dan Ibu Guru bisa cari tahu seberapa penting karakteristik siswa dalam pembelajaran.

Kedua, melibatkan semua pelajar, lokasi belajar yang sama, dan pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik secara merata pula. Pendidikan inklusif identik dengan keterbukaan, persamaan hak, dan kebebasan dalam mengenyam pendidikan. Sehingga, dari situ semakin jelas banyak pendidikan inklusif mesti dibudayakan disemua jenjang masyarakat.

Ketiga, pendidikan inklusif diharapkan dapat terjadi dalam semua level komunitas kehidupan manusia tanpa pengecualian demi mewujudkan kehidupan yang humanis. UU HAM No. 39 Tahun 1999 menandaskan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya, sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasanya. Selain itu, UUD 1945 pasal 28 B ayat 2 menegaskan bahwa setiap anak juga berhak atas keberlangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Keempat, masyarakat perlu didorong untuk memiliki cara pandang lebih luas dalam memahami pendidikan inklusi tanpa diskriminatif. Stigma negatif dan rasa kasihan dari cara pandang masyarakat mengenai disabilitas meski ditepis, pasalnya dapat menghambat penyandang disabilitas untuk menjadi bagian dari masyarakat Indonesia seutuhnya.

Melalui keempat langkah strategi pembudayaan pendidikan inklusif tersebut diatas jika semua pihak mau dan mampu mengaplikasikan dengan maksilmal maka besar kemungkinan pendidikan inklusif tidak lagi dipahami hanya sebatas tataran teoritis dan tertulis indah di atas kertas. Namun lebih daripada itu, harus segera terejawantahkan pada tataran praksis, dalam setiap lembaga pendidikan.

——— *** ———

Tags: