Meredam Dampak Inflasi Harga BBM

Oleh :
Sutawi
Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang

Subsidi bahan bakar minyak (BBM) merupakan kebijakan pemerintah untuk membantu menstabilkan harga barang dan jasa yang memiliki dampak luas terhadap kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah menerapkan kebijakan administered price (harga barang dan jasa berdasarkan aturan pemerintah) untuk beberapa jenis komoditas BBM, sehingga harga jualnya lebih murah daripada harga keekonomian dan terjangkau masyarakat. Subsidi BBM menimbulkan dampak negatif terhadap beban bagi belanja negara.

Melonjaknya harga minyak dunia menyebabkan makin meningkatnya beban APBN untuk subsidi BBM. Pada 3 September 2022 pemerintah mengeluarkan kebijakan mengurangi subsidi dengan menaikkan harga BBM jenis solar, pertalite dan pertamax. Harga pertalite naik dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10 ribu per liter, solar subsidi dari Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter dan pertamax dari Rp12.500 per liter menjadi Rp14.500 per liter. Kebijakan kenaikan harga BBM dilakukan karena subsidi dan kompensasi energi tahun 2022 yang semula dipagu sebesar Rp152,5 trilyun telah membengkak menjadi Rp502,4 trilyun (330%).

Kebijakan kenaikan BBM berdampak langsung terhadap inflasi. Hasil kajian Harunurrasyid (2013) menyimpulkan kenaikan harga BBM premium dan solar sebesar 1 persen menyebabkan peningkatan inflasi sebesar 0,051 persen.

Hasil serupa dikemukakan oleh Soleh (2020) bahwa kenaikan harga premium sebesar Rp1.000/liter menyebabkan inflasi meningkat sebesar 1,10 persen. Pertalite (pengganti premium sejak Maret 2022) merupakan jenis BBM yang paling banyak dikonsumsi oleh sektor rumah tangga dengan proporsi hampir 80%.

Kementerian ESDM mencatat konsumsi BBM jenis pertalite sebesar 23,29 juta kiloliter tahun 2021, naik signifikan 28,41% dibandingkan 18,14 juta kiloliter tahun 2020. Menurut Susenas (2020), sebanyak 40% masyarakat golongan menengah ke bawah hanya menikmati 20% dari total konsumsi pertalite atau sekitar 17,1 liter per rumah tangga per bulan, sedangkan 60% golongan menengah ke atas menikmati hampir 80% dari total konsumsi atau 33,3 liter per rumah tangga per bulan.

Inflasi adalah kecenderungan naiknya harga barang dan jasa yang berlangsung secara terus menerus. Jika harga barang dan jasa di dalam negeri meningkat, maka inflasi mengalami kenaikan. Naiknya harga barang dan jasa menyebabkan turunnya nilai uang.

Dengan demikian, inflasi juga diartikan sebagai penurunan nilai uang terhadap nilai barang dan jasa. Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply atau inflasi desakan biaya (cost push inflation), dari sisi permintaan atau inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation), dan ekspektasi inflasi.

Cost push inflation adalah inflasi karena kenaikan biaya produksi yang mendorong naiknya harga barang dan jasa. Kenaikan biaya produksi juga mengakibatkan turunnya jumlah produksi sehingga penawaran menjadi berkurang. Jika penawaran berkurang sedangkan permintaan tetap, maka akibatnya harga naik. Faktor penyebab demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya. Faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya.

Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat (Bank Indonesia, 2022).

Pertama, inflasi yang tinggi menyebabkan pendapatan riil masyarakat menurun sehingga standar hidup masyarakat menurun, bahkan di bawah garis kemiskinan. Kedua, inflasi yang tidak stabil menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Inflasi yang tidak stabil menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah. Keempat, pentingnya kestabilan harga kaitannya dengan stabilitas sistem keuangan.

Dampak inflasi putaran pertama (first round impact) atau inflasi administered price (inflasi barang dan jasa yang harganya diatur pemerintah) adalah kenaikan biaya transportasi. BPS mencatat tingkat inflasi September 2022 mencapai 1,17 persen secara bulanan (month to month, mtm). Inflasi terutama bersumber dari peningkatan harga kelompok administered prices sebesar 6,18 persen.

Peningkatan inflasi tersebut dipengaruhi oleh first round effect dari penyesuaian harga BBM bersubsidi seperti yang tercermin pada kenaikan inflasi bensin, angkutan dalam kota, solar, angkutan kota antarprovinsi, dan tarif kendaraan online. Dampak tidak langsung atau dampak lanjutan (second round impact) dari kenaikan harga BBM akan lebih terasa selama 3 bulan ke depan, yaitu naiknya harga jasa transportasi, distribusi, sampai kenaikan harga barang dan jasa lainnya. Kemenkeu memperkirakan inflasi akhir tahun 2022 mencapai 6,6-6,8 persen. Besaran inflasi tersebut jauh lebih besar dibanding Sasaran Inflasi Tahun 2022-2024 yang ditetapkan Pemerintah dan Bank Indonesia berdasarkan PMK No.101/PMK.010/2021 tanggal 28 Juli 2021, masing-masing sebesar 3,0%, 3,0%, dan 2,5%.

Pemerintah mengeluarkan dua kebijakan untuk meredam dampak inflasi akibat kenaikan harga BBM. Pertama, pengalihan subsidi dan kompensasi BBM menjadi BLT BBM dialokasikan sebesar Rp24,17 triliun. BLT BBM diberikan kepada 14,6 juta pekerja dengan gaji di bawah Rp3,5 juta dalam bentuk Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebesar Rp600.000, dan BLT BBM yang diberikan kepada 20,65 keluarga penerima manfaat (KPM) sebesar Rp150.000 per bulan selama empat bulan. Kedua, memberi Dana Insentif Daerah (DID) sebesar Rp10 miliar kepada pemerintah daerah yang berhasil mengendalikan inflasi lebih rendah dibandingkan level nasional. Jawa Timur merupakan satu dari sepuluh provinsi penerima DID sebesar Rp 10,33 miliar dari Menteri Keuangan Sri Mulyani karena berhasil menekan inflasi mulai Mei hingga Agustus 2022 secara signifikan. Empat daerah di Provinsi Jawa Timur juga mendapat hadiah karena prestasi serupa, yaitu Kabupaten Banyuwangi menerima insentif Rp 10,4 miliar, Jember Rp 10,36 miliar, Sumenep Rp 10,44 miliar, dan Kota Probolinggo Rp 10,42 miliar. Provinsi Jawa Timur merumuskan strategi “4 K” dalam mengendalikan inflasi, yaitu keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan komunikasi efektif.

———- *** ———-

Rate this article!
Tags: