Optimalisasi Kebijakan Perdagangan Karbon

Akhir – akhir ini, istilah “perdagangan karbon” berseliweran di media. Tren tersebut, sejatinya tidak lepas dari upaya Pemerintah Indonesia menggulirkan perdagangan karbon sebagai upaya untuk mencapai target pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 30% dengan usaha sendiri pada 2030. Selain itu, mekanisme perdagangan karbon adalah satu dari tiga cara penurunan emisi yang ditetapkan oleh perjanjian iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Protokol Kyoto, pada 11 Desember 1997.

Demi menjaga keberlangsungan lingkungan dengan menurunkan emisi karbon sebagai wujud komitmen dalam mendukung pencapaian Net Zero Emission dan menurunkan Emisi GRK, lebih dari 36 juta ton CO2e di tahun 2030 terus digencarkan oleh pemerintah. Realitas tersebut, sejatinya selaras dengan upaya pemerintah yang telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional.

Oleh sebab itu, idealnya pemerintah perlu menghadirkan perdagangan Karbon Subsektor Tenaga Listrik. Dari situ diharapkan perdagangan karbon dapat didukung oleh para pelaku usaha di subsektor pembangkitan tenaga listrik. Yang selebihnya perlu merujuk pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik. Melalui Peraturan Menteri itulah, sebagai salah satu regulasi untuk mengatur perdagangan karbon disubsektor pembangkit tenaga listrik dan akan menjadi acuan dalam pelaksanaan perdagangan karbon.

Regulasi tersebut, patut menjadi rujukan dalam mencapai target pengurangan emisi GRK dan pola perdagangan karbon di sektor energi yang sesuai dengan dokumen enhanced Nationally Determined Contribution (NDC). Terlebih, mengingat Indonesia memiliki potensi karbon yang luar biasa, namun belum memiliki mekanisme pasarnya. Untuk itulah, diperlukan dukungan dan partisipasi dari pembangkit yang memanfaatkan energi baru terbarukan dan pelaku usaha lainnya yang melakukan aksi mitigasi di lingkup sektor energi. Termasuk, pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu mengatur mekanismenya. Yang kesemuannya sebagai upaya untuk mempercepat bauran energi terbarukan dan nol emisi pada 2060 nanti.

Novi Puji Lestari
Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Malang.

Tags: