Petani Kota Batu Dituntut Bijak Gunakan Pupuk

Wakil Wali Kota Batu, Punjul Santoso, saat mengunjungi panen apel di Desa Punten.

Wakil Wali Kota Batu, Punjul Santoso, saat mengunjungi panen apel di Desa Punten.

Kota Batu, Bhirawa
Para petani di Kota Batu khususnya petani apel dituntut untuk lebih bijaksana dalam melakukan upaya peningkatan produksi. Banyaknya penggunaan pupuk anorganik di kalangan petani membuat kondisi tanah di Batu terus mengalami pemadatan. Akibatnya lahan apel yang ada menjadi tidak subur dan jumlah produksi terus menyusut.
Selama ini para petani di Kota Batu telah menguasai teknologi budidaya tanaman apel. Sayangnya, mereka terlalu terpacu untuk melakukan peningkatan jumlah produksi, dan tidak memperhatikan kondisi struktur tanah yang kesuburannya menurun terus.
“Seharusnya para petani bisa lebih bijaksana dalam penggunaan pupuk. Hal ini perlu dilakukan agar struktur tanah tidak terus memadat sehingga kesuburan tanahpun menurun,” ujar Kepala Badan Penelitian Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) Kota Batu, Dr Ir Joko Susilo Utomo, Minggu (24/5).
Tidak bijaksananya para petani, kata dia, karena mereka tidak memperhatikan keseimbangan dalam penggunaan pupuk. Petani terlalu banyak menggunakan pupuk anorganik dibandingkan pupuk organik. Kondisi inilah yang membawa permasalahan bagi dunia pertanian di Kota Batu.
“Dengan tidak menggunakannya pupuk organik, membuat struktur dan kesuburan tanah terus mengalami penurunan. Akibatnya, kondisi tanah yang ada terus mengalami pemadatan. Hal ini jelas membuat lahan pertanian menjadi tidak subur. Hasil produksi apelpun terus mengalami penurunan,”jelas Joko.
Menurunnya jumlah produksi apel, membuat para petani apel mulai meninggalkan pekerjaan ini. Akibatnya, lahan pertanian di Kota Bat uterus mengalami penyusutan. Pada masa produksi Apel Batu masih Berjaya, yakni di bawah tahun 2000, lahan apel di Kota Batu mencapai 7000 hektar. Namun jumlah tersebut terus berkurang hingga saat ini Kota Batu hanya memiliki sekitar 2000 hektar lahan apel saja.
Di kalangan para petani muncul sinyalemen atau pandangan bahwa lahan apel harus dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi lagi. Hal ini sebagai dampak perubahan iklim yang drastis hingga menyebabkan pemanasan global. Namun pandangan ini dibantah oleh Joko Susilo Utomo.
“Memang ada sinyalemen seperti itu (memindahkan lahan apel ke tempat yang lebih tinggi). Namun hal itu juga tidak terlalu drastis (mendesak). Buktinya lahan apel yang kita kembangkan di lahan dengan tinggi 850 dpl tetap bisa tumbuh dengan bagus dan berbuah,”bantah Joko. [nas]

Tags: