Produktivitas Tembakau Merosot, Industri Rokok Terpaksa Impor

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Produktivitas tembakau secara nasional saat ini masih rendah. Untuk menutup kekurangan kebutuhan tembakau saat ini, banyak industri rokok yang mengimpor tembakau dari berbagai negara.
Wakil Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo mengatakan saat ini produktivitas tembakau  berada di kisaran 180.000 ton hingga 200.000 ton per tahun dengan luas lahan sekitar 200.000 hektare hingga 240.000 hektare secara nasional. Padahal kebutuhan tembakau untuk industri rokok nasional mencapai sekitar 300.000 ton per tahun untuk memproduksi rokok sekitar 300 miliar batang per tahun.
‘Untuk mengatasi kekurangan ini,   industri rokok banyak yang mengimpor tembakau dari berbagai negara, di antaranya dari Tiongkok, Turki dan Zimbabwe,” katanya di Surabaya kemarin, Minggu (20/7).
Menurut Budidoyo produktivitas tembakau nasional tak optimal berkembang karena beberapa kendala. Selain luas area yang terus berkurang menyusul tingginya kebutuhan akan perumahan, juga kepedulian pemerintah terhadap petani tembakau kurang. “Tak ada pendampingan, bantuan terhadap petani tembakau. Ketidakpedulian pemerintah ini membuat petani tak bisa meningkatkan produktivitas. Mereka merasa dilepas,” katanya.
Dijelaskan Budidoyo pendampingan pemerintah terhadap petani tembakau bisa dilakukan dengan mengalokasikan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau ( DBHCHT) untuk  melakukan budidaya tembakau. “Pendampingan pemerintah itu perlu dilakukan sebab produktivitas tembakau nasional masih sangat rendah. Jika idealnya produktivitas tembakau rajang mencapai 1 ton per hektare, realisasinya saat ini hanya dikisaran 0,7 ton per hektare. Ini disebabkan sebagian besar petani tembakau kita adalah petani mandiri yang tidak mendapatkan dukungan apapun dari pemerintah,” katanya.
Saat ini jumlah petani tembakau mandiri bisa mencapai lebih dari 80% dari total jumlah petani tembakau yang ada. Sementara petani yang sudah kuat dan bermitra dengan industri rokok besar jumlahnya cukup kecil, kurang dari 20%. “Untuk itu, peningkatan produktivitas melalui dukungan penuh kepada petani oleh pemerintah ataupun swasta untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan ketergantungan Indonesia terhadap impor komoditas tembakau harus dilakukan,” jelasnya.
Menurut Budidoyo pendampingan terhadap petani tembakau bisa direalisasikan mengingat jumlah dana bagi hasil tersebut sangat besar. Pada 2014, nilainya mencapai hampir mencapai Rp 2 triliun. Sementara untuk Jatim mencapai sekitar Rp 1 triliun lebih karena kontribusi produk tembakau Jatim terhadap nasional mencapai 60%. “Kami yakin, dengan adanya pendampingan, produktivitas tembakau di Indonesia akan naik seiring dengan perbaikan teknik budidaya yang dilakukan petani,” jelasnya. [tis]

Tags: