Risma Diminta Introspeksi terhadap Capaian Nilai UN

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Hasil Ujian Nasional (UN) SMP sederajat telah diumumkan serentak 11 Juni,  Kota Surabaya pun menunjukkan capaian hasil yang masih di bawah rata-rata Jatim. Sayangnya pernyataan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dinilai tidak elok ketika ditanya hasil capaian tersebut.
Hal itu disayangkan Anggota Komisi D DPRD Kota Surabaya Reni Astuti SSi kepada Bhirawa, Senin (13/6) kemarin. Menurut perempuan berjilbab ini, capaian UN SMP sederajat di Surabaya yang masih di bawah nilai rata-rata Jatim seharusnya menjadi evaluasi bagi Pemkot Surabaya.
“Saya menyayangkan pernyataan itu (Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, red). Akan lebih bijak jika Pemkot Surabaya bersikap introspektif, melakukan upaya korektif atas capaian nilai UN di Surabaya dengan tetap memberi apresiasi capaian daerah lain,” tuturnya.
Menurut Reni, jargon ‘Jujur Harus, Prestasi Oke’ seharusnya tidak hanya sekadar kalimat tapi benar-benar diwujudkan dan diimplementasikan. Ini mengacu pada Menteri Pendidikan sendiri yang ada di sampul UN dan di situ menjadi semangat bagi pelajar yang menghadapi UN. “Jadi kejujuran dan prestasi itu adalah suatu capaian akademis. Bukan  capaian salah satunya saja, melainkan dua-duanya,” terang Reni.
Seperti diberitakan sebelumnya, tahun ini dari total 593.218 siswa SMP/MTs se-Jatim terdapat 386.475 siswa atau sekitar 65,15 persen yang meraih nilai 55 ke bawah. Tahun lalu, dari 588.598 siswa SMP/MTs peserta UN hanya 125.623 atau 21,55 persen siswa yang meraih nilai di bawah 55. Dengan demikian, ada kenaikan hingga tiga lipat siswa di bawah SKL.
Selain itu, nilai rata-rata UN SMP/MTs di Jatim juga mengalami penurunan di banding tahun sebelumnya. Pada 2015 lalu, reratanya mencapai 66,99 sesuai dengan empat mapel yang diujikan. Tahun ini nilai rata-rata UN turun 4,73 menjadi 62,26.
Rendahnya perolehan nilai UN SMP/MTs ini juga dialami Kota Surabaya. Total nilai UN yang diraih hanya 235,08 atau rata-rata 58,77 untuk empat mata pelajaran. Perolehan ini secara otomatis akan mempengaruhi persyaratan seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jalur sekolah kawasan.
Terus menurunnya nilai rata-rata hasil UN tingkat SMP/MTs Kota Surabaya dalam tiga tahun terakhir ditanggapi dingin Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Dia meyakini bahwa tidak semua daerah jika menggunakan sistem pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) atau disebut juga Computer Based Test (CBT)  akan menghasilkan nilai baik.
“Tak apa-apa Kota Surabaya hasil UN nya tak bagus, yang penting anak anak saya ajarkan kejujuran.  Saya yakin kalau daerah lain menggunakan UNBK mungkin juga malah jeblok,” kata Risma.
Reni menambahkan selama tiga tahun hasil UN bukan satu-satunya indikator kualitas pendidikan. Tapi harus dijadikan alat evaluasi dan siapa yang harus dievaluasi mulai dari pemerintah daerah maupun Dinas Pendidikan. “Kalau misalkan tidak merasa kurang berarti tidak korektif. Prestasi dan mutu tetap menjadi target. Dalam dunia pendidikan kita itu keberlanjutan dan pendidikan itu juga nilai. Ini menjadi tolak ukur, jadi kita harus konsisten,” jelasnya.
Dalam hal ini, menurut Reni, harus dievaluasi karena itu menyangkut proses. Dindik membuat kebijakan dan menjamin mutu pembelajaran di sekolah-sekolah. “Nah, ujungnya ketuntasan siswa-siswi dari pemahaman materi. Ketika gurunya tidak tersentuh, hasilnya juga tidak bagus. Bagaimana Dindik melakukan pengelolaan kompetensi guru,” katanya.
Selain itu, Reni menyarankan Pemkot Surabaya harus korektif karena berbicara integritas. ” Maka harus jujur mengakui kalau masih ada masalah. Jadi harus dievaluasi, banyak hal di sini,” terangnya.
Kalau bicara pendidikan secara aksessabilitas di Pemkot Surabaya, kata Reni, itu sudah bagus. Mulai dari angka putus sekolah pun kecil. Namun, dalam konteks mutu ada dua hal yakni akuntabilitas dan aksesbilitas. “Tapi terkait kualitas pendidikan masih punya PR. Sementara sisi SDM dibutuhkan yang berkarakter dan berdaya saing global. Program terkait mutu pendidikan perlu dipastikan karena anggaran pendidikan Rp 2,3 triliun dari APBD kita Rp 7,9 triliun,” pungkasnya.
Sementara, pengamat Pendidikan Isa Ansori mengatakan apa yang disampaikan Wali Kota Surabaya justru menunjukkan sesuatu yang inkonsisten. Satu sisi capaian akademik dikatakan bukan tujuan, karena yang penting integritas kejujurannya seratus persen karena menggunakan UNBK. “Namun, penerimaan peserta didik baru yang dilakukan Diknas masih menggunakan parameter nilai. Apalagi kemudian parameter nilai menyesuaikan dengan kondisi capaian prestasi,” kata Isa.
Menurutnya, tahun lalu belum sepenuhnya menggunakan komputer. “Alangkah baiknya kalau Wali Kota Surabaya menerima kenyataan ini dengan mengatakan terima kasih kepada semua guru dan siswa atas capaian ini. Dan ini menjadi evaluasi total pendidikan di Surabaya agar lebih baik lagi,” jelasnya Isa. [geh]

Tags: