‘Junk Science’ Wacana Penundaan Pemilu 2024

Oleh:
Suluh Dwi Priambudi
Alumni Universitas Negeri Surabaya

Wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 belakangan ini ramai diperbincangkan karena dikemukakan oleh elite partai politik serta kalangan pemerintah. Keduanya kompak mengeklaim, bahwa mayoritas masyarakat Indonesia menginginkan Pemilu 2024 ditunda. Konklusi itu mengacu pada sumber-sumber yang tidak jauh berbeda, yakni big data perbincangan pengguna media sosial.

Klaim pertama datang dari Wakil Ketua DPR RI yang juga menjabat Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar. Ia mengeklaim, banyak akun media sosial sepakat terhadap usulan dirinya agar Pemilu 2024 ditunda. Menurutnya, dari 100 juta subjek akun media, sebanyak 60 persen mendukung penundaan Pemilu, sedangkan 40 persen lainnya menolak.

Menyusul Muhaimin Iskandar, klaim berikutnya datang dari posisi pemerintah: Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut mengatakan, sebanyak 110 juta orang di media sosial mendukung penundaan Pemilu 2024. Pernyataan ini disampaikan dalam Podcast Deddy Corbuzier yang diunggah pada 11 Maret 2022. Masyarakat, kata Luhut, ingin tenang, ingin berbicara ekonomi. Masyarakat tidak ingin terjadi polarisasi akibat Pemilu. Belakangan ini, Luhut justru menampik pernyataan itu dan enggan membuka big data.

Apakah angka 100-110 juta cukup mewakili mayoritas pengguna internet di Indonesia atau subjek pengguna media sosial? Mengutip datareportal.com, jumlah penduduk di Indonesia pada Januari 2022 sebanyak 277,7 juta jiwa. Dari angka itu, 204,7 juta orang di antaranya menggunakan internet. Namun, hanya ada 191,4 juta pengguna media sosial di Indonesia pada Januari 2022.

Youtube masih yang paling populer dengan 139 juta pengguna, Facebook 129,9 juta pengguna, Instagram 99,15 pengguna, TikTok dengan 92,07 juta pengguna, Linkedln 20 juta pengguna, kemudian twitter dengan 18,45 juta pengguna. Berdasarkan datareportal.com ini, subjek data Muhaimini Iskandar mewakili sekitar 52,24 persen pengguna media sosial. Sedangkan data Menko Marves mewakili 57,47 persen.

Hasil analisa big data yang diklaim mewakili rakyat telah muncul ke ruang publik (public sphere) sebagaimana konsep Jurgen Habermas. Elite politik serta pemerintah memanfaatkannya dalam membentuk opini publik bahwa mayoritas masyarakat sepakat Pemilu 2024 ditunda. Suara publik yang diambil lewat big data bisa dianggap mewakili suara konstituen untuk mendorong DPR dan MPR melakukan amandemen Undang-undang 1945.

Penggunaan big data oleh elite politik dan pemerintah tersebut menghadirkan kerancuan. Tidak dijelaskan secara detail bagaimana dan kapan pengambilan data, pola perbincangan di media sosial, rentang usia subjek akun media sosial, sebagaimana pola survei pada umumnya. Penulis sendiri, sebagai pengguna internet cum memiliki akun media sosial seperti Youtube, Facebook, Instagram, serta twitter, tidak pernah sekalipun terlibat dalam pembicaraan untuk menyetujui atau menolak penundaan Pemilu 2024.

Seperti diketahui, big data memiliki jangkauan yang cukup luas. Berisikan data-data kompleks yang berkembang dengan cepat seiring besarnya pengguna internet. Big data pun memotret kebiasaan hidup pengguna internet setiap saat. Penguasa big data tentu dengan mudah mengelola data dengan metode-metode tertentu demi tujuan tertentu pula. Pengelolaan data yang ceroboh oleh Dan Agin disebut ‘Junk Science.’

Guru Besar Universitas Chicago Amerika Serikat itu dalam bukunya Junk Science: An Overdue Indictment of Government, Industry, and Faith Group That Twist Science for Their Own Gain, medefinisikan ‘Junk Science’ sebagai pengetahuan yang rusak karena menggunakan metode ceroboh untuk sebuah kesimpulan pernyataan palsu. Junk Science sering digunakan secara sengaja sebagai alat oleh pihak-pihak yang berusaha mengeksploitasi publik untuk tujuan tertentu.

Eksploitasi publik berdasar data pengguna media sosial menimbulkan bias. Tidak semua pengguna media sosial mewakili individu. Ada kelompok anonim yang memiliki pengaruh cukup besar dalam menyuarakan suatu kepentingan kelompok tertentu. Elite politik dan pemerintah perlu mempertanggungjawabkan secara ilmiah dalam penggunaan big data sebagai referensi wacana penundaan Pemilu 2024.

Analisis yang Dibantah

Dibanding klaim Muhaimin Iskandar, klaim Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan melahirkan berbagai bantahan. Beberapa lembaga survei menampilkan hasil survei yang hasilnya justru bertolak belakang dengan klaim mayoritas masyarakat menyetujui untuk menunda Pemilu 2024.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 3 Maret 2022 mengeluarkan hasil surveinya yang menyebut bahwa pemilih Jokowi-Ma’ruf Amin maupun pemilih Prabowo-Sandiaga Uno ingin Pemilu tetap diadakan pada 2024 (katadata.co.id). Sebanyak 52,4 persen pemilih Jokowi-Ma’ruf Amin ingin Pemilu tetap diadakan pada 2024. Sedangkan 36,3 persen lainnya ingin menunda Pemilu hingga 2027.

Sementara, ada 81,6 persen pemilih Prabowo-Sandi pada 2019 ingin Pemilu tetap diadakan pada 2024. Hanya 11,4 persen yang ingin menunda Pemilu hingga 2027 karena alasan memprioritaskan penyelesaian pandemi dan pemulihan ekonomi. Survei LSI dilakukan terhadap 1.197 responden yang dipilih secara acak. Survei memiliki toleransi kesalahan sekitar 2,89 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Menurut Pendiri Drone Emprit Ismail Fahmi, setidaknya ada tiga (3) hal yang perlu dibuktikan soal klaim dukungan dari big data agar kebenarannya bisa diverivikasi. Pertama, kata kunci, kedua periode penarikan data, dan ketiga sumber data. “Timnya Pak Luhut ini perlu membuka metodologinya apa, periodenya kapan, kata kunci yang dipakai apa, baru kita buka-bukaan data,” kata Fahmi dalam diskusi bersama sejumlah peneliti dari lembaga survei dan analis data di Jakarta, Kamis (17/3/2022).

Munculnya berbagai bantahan mengisyaratkan ada kecerobohan dalam mengelola big data oleh para elite politik dan pemerintah. Klaim sepihak disertai metodologi riset yang kurang jelas semakin menegaskan ada pihak-pihak tertentu yang menginginkan Pemilu 2024 ditunda, yang justru menjadi preseden buruk bagi alam demokrasi Indonesia.

———– *** ————-

Tags: