Ketokohan Perempuan yang Berhimpun

Oleh:
Frida Kusumastuti
Dosen Universitas Muhammadiyah Malang

Kongres Perempuan I pada Oktober 1928 di Yogjakarta merupakan tonggak sejarah gerakan perempuan di Indonesia. Sementara itu Kongres Perempuan ke III 1938 di Bandung yang menghasilkan ide membentuk Komite Hari Ibu. Lalu akhirnya Presiden Soekarno membuat dekrit no. 316 tahun 1959 menetapkan Hari Ibu pada 22 Desember, mengambil tanggal dimana Kongres Perempuan I dilaksanakan.
Terus kenapa kok menjadi Hari Ibu?
Penulis belum menemukan literatur yang memberi penjelasan alasan tonggak Kongres Perempuan I (KPI) pada 22-25 Desember 1928 saat itu kemudian disahkan menjadi Hari Ibu. Informasi yang penulis dapatkan adalah pada Kongres Perempuan Indonesia II tahun 1938, dibentuklah Komite Hari Ibu. Namun, tetap belum juga penulis temukan mengapa “Hari Ibu”?
Membaca kembali sejarah KPI I dan dinamika yang terjadi saat itu, setidaknya ada tiga hal yang menarik perhatian penulis dari sejarah itu. Pertama tentang organisasi-organisasi perempuan yang menjadi peserta kongres di kala itu. Kedua, tentang tokoh-tokoh dalam KPI, dan ketiga tentang dinamika perdebatan dalam kongres.

Perempuan yang berhimpun
Kongres Perempuan didasari oleh kesadaran perlunya menyatukan semua gerakan organisasi perempuan yang terdeteksi sebelum 1928, seperti Putri Mardika (1912), Perhimpunan Isteri Sedar (1927), Wanudiyo Utomo yang kemudia berubah menjadi Sarekat Perempuan Islam Indonesia (SPII), Aisyiyah (1914), Pawiyatan Wanito (1915), Wanito Hadi (1915), Percintaan Ibu Kepada Anak Termurunnya/PJKAT (1917), Wanito Susilo (1918), Ina Tuni (Sarekat Ambon Wanita Taman Siswa), Kaotaman Istri Minangkabau, dsb. Penyatuan gerakan berbagai organisasi perempuan saat itu ingin menjadikan gerakan organisasi perempuan yang bersifat lokal dan sektorial (khususnya Jawa) dari menjadi sebuah gerakan nasional. Salah satu hal ditandai dengan bergabungnya lebih dari 30 organisasi perempuan dan penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kongres. Bisa jadi juga didasari oleh semangat Soempah Pemoeda kala itu. Salah satu hasil dari KPI I adalah terbentuknya badan Federasi Perhimpunan Pergerakan Perempuan Indonesia (PPPI).
Fakta itu memberi nilai bahwa ide KPI sangat visioner. Mereka menunjukkan pentingnya perempuan berorganisasi. Melalui organisasi, perempuan bisa berbagi peran dan pikiran secara spesifik. Mereka mendiskusikan persoalan bersama dalam perspektif perempuan. Melalui organisasi perempuan juga bisa saling belajar serta membangun sikap dengan lebih berani dan independen. Yang lemah dikuatkan, sementara yang kuat mengisi dan bisa mengambil peran sebagai pemimpin.
Aktivitas perempuan dengan berorganisasi juga bisa dipahami sebagai representasi mereka beraktivitas di ranah publik, keluar dari ranah domestik rumah sendiri. Hal ini terlihat dari isu-isu yang diangkat dalam KPI. Mulai dari peran perempuan sebagai pendidik moral anak bangsa hingga ketimpangan sosial yang dialami perempuan di tempat kerja, serta isu-isu gender lainnya. Dengan berhimpun, perempuan menjadi lebih berani dalam pergulatan pikir dan mengekspresikan pikirannya dalam sebuah pembicaraan publik.

Tokoh-tokoh Kongres
Pelaksaan KPI tidak terlepas dari tokoh-tokoh yang menggerakan. Adalah Siti Aminah atau dikenal sebagai Nyonya Soekonto yang menjadi ketua KPI I. Lalu ada Soejatin sebagai penggagas dan bendahara, dan Siti Munjiah sebagai wakil ketua. Dan tentu banyak lagi tokoh yang patut diapresiasi dalam KPI I. Tanpa menafikan peran serta semua tokoh yang hadir, berikut adalah gambaran ketiga tokoh kunci terselenggaranya KPI I.
Siti Aminah adalah ketua organisasi Wanito Oetomo yang didapuk menjadi ketua KPI I. Sebagai aktivis Wanito Oetomo, Siti Aminah tidak terlepas dari “ideologi” WO yang dibentuk oleh Boedi Oetomo, yaitu nasionalis. Biografi aktivitas Siti Aminah dimulai saat menjadi isteri dokter Sukonto, seorang dokter perusahaan minyak. Sebagai isteri, Siti Aminah selalu mendampingi suaminya berpindah-pindah. Dokter Sukoto menyarankan isterinya itu untuk belajar membaca dan menulis huruf Latin. Dokter Sukonto juga mendatangkan surat kabar dan majalah, agar isterinya lebih lancar membaca. Upaya itu membuat pandangan Siti Aminah semakin luas. Siti Aminah juga dikenal sebagai seseorang yang pandai bergaul dengan berbagai kalangan, tidak memandang latar belakang, pangkat dan golongan. Semua kecakapannya itu sangat berguna dalam mendidik putra-putrinya menjadi orang -orang yang berhasil dan juga memiliki pribadi yang baik, tidak sombong, ramah, dan pandai mengendalikan diri. Dengan segala apa yang menjadi potensi dirinya, Siti Aminah menunjukkan kemampuannya sebagai seorang pemimpin utama dalam Kongres Perempuan Indonesia I.
Sementara Soejatin sekretaris KPI I adalah ketua organisasi Poetri Indonesia, seorang priyayi yang berpendidikan lulusan sekolah-sekolah keren di masa itu, yaitu Holland lnlandsche School (HIS), Europeesche Lagere School (ELS), Muite Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan kemudian memilih melanjutkan di sekolah guru. Karena pendidikannya pula ditambah sering mengikuti perpindahan ayahnya sebagai pegawai Jawatan Kereta Api pada masa itu ke berbagai daerah, Soejatin mendapat kesempatan mendapatkan pengalaman budaya yang berharga dan mampu berpikir kritis. Pergaulannya yang luas membuat peka terhadap perbedaan kelas. Dia memberontak melihat tradisi yang melangengkan perbedaan kelas. Dia mempraktekkan kesetaraan, tidak memandang kelas priyayi atau bukan dengan mempraktekkan penggunaaan Bahasa Melayu dalam relasinya dengan para priyayi. Semangatnya yang menyala-nyala nampak sejak remaja dengan bergabung pada Jong Java. Aktif menulis dan menjadi redaktur Majalah Jong Java. Bahkan ketika menjadi sekretaris KPI I, Soejatin masih berusia 21 tahun. Perannya dalam perhelatan akbar yang menghadirkan 1000-an orang dimasa itu sangat luar biasa.
Sedangkan Siti Munjiah yang mewakili Aisyiyah, memiliki wawasan keilmuan Islam yang sangat kuat. Orang tua Munjiah sendiri memang telah mendidiknya dengan agama Islam yang sangat kental. Dia adalah puteri Raden Kaji Lurah Hasyim, seoranga bdi dalem Bidang Keagarnaan Kesultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Saudara kandung Munjiah antara lain K.H. Fakhruddin dan Ki Bagus Hadikusumo. Tokoh Muhammadiyah yang terkenal karena kesalehannya. Ditambah dengan gemblengan K.H. Ahmad Dahlan pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, Ilmu agama Munjiah sangat mumpuni. Dia kerap berdakwah ke daerah-daerah. Pendiriannya teguh pada Islam, sikapnya tegas, wawasan luas, intelek, dan kritis. Ceramah -ceramah Munjiah tidak saja disampaikan di hadapan warga Aisyiyah namun juga disampaikan atas undangan organisasi lainnya seperti Wanito Taman Siswo. Wanito Utomo, Jong Java dan sebagainya. Hal ini menunjukkan kepiwaiannya dalam membawakan ceramah yang bisa diterima di berbagai kalangan termasuk di luar Aisyiyah.

Mengambil profil ketiga tokoh utama dalam KPI I, bisa diambil nilai-nilai tentang karakter perempuan yaitu pejuang tangguh, kritis, berwawasan luas, adaptif, memiliki prinsip pada sesuatu yang diperjuangkan, memiliki jiwa kepemimpinan, kemampuan berkolaborasi, dan inklusif.
Semoga spirit Hari Ibu bisa mengambil tauladan dari sejarah Kongres Perempuan Indonesia I. Berhimpunlah perempuan Indonesia melalui organisasi-organisasi dan komunitas-komunitas yang ada di sekitar, nyalakan kobar semangat dengan pribadi yang bermartabat.

——— *** ———-

Rate this article!
Tags: