PMK Guncang Pedesaan

Wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) bisa jadi bagai “luruhan gunung es.” Hewan ternak yang menjadi korban lebih besar dibanding yang tercatat. Wabah telah menghancurklan perekonomian di tingkat grass-root petani. Karena hewan ternak (sapi, dan kambing) menjadi sistem aset dan investasi utama di pedesaan. Semakin lama me-wabah, dampak kerugian semakin mendalam. Pemerintah patut menggelontor fasilitasi pembaruan indukan sapi, sampai menggencarkan bantuan sosial (Bansos).

Wabah PMK yang menyebar sangat cepat, sudah diprediksi sejak awal. Tetapi tidak diikuti penanganan yang cepat pula. Sejak dinyatakan sebagai bencana non-alam wabah PMK (dalam rapat terbatas di istana negara), maka berlaku dua undang-undang (UU). Yakni, UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Serta UU Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Perubahan UU Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Saat ini sebanyak 420 ribu ekor hewan ternak yang terpapar. Bertambah 15 ribu setiap hari! Walau sebagian berhasil sembuh dengan pengobatan sederhana. Tak jarang peternak meramu (secara mandiri) “jamu” tradisional. Bahkan juga menggunakan obat manusia (paracetamol, dan vitamin C). Pertanda telah terjadi kepanikan di pedesaan. Karena menyangkut ancaman terhadap aset yang biasa disebut rajakaya (hewan ternak utama).

Kepanikan, realitanya dimanfaatkan oleh blantik (calo dagang sapi), dan jagal (tukang potong hewan yang sekaligus membeli daging yang dipotong). Di Jawa, banyak sapi jenis Limosin biasa rata-rata seharga Rp 20 juta per-ekor. Tapi dalam keadaan sakit ditawar blantik hanya Rp 2,5 juta. Biasanya blantik lebih piawai terhadap obat-obatan penyakit sapi. Hanya perlu waktu sepekan, setelah sembuh, sapi laku dijual Rp 20 juta. Dengan provokasi, blantik berani keliling pedesaan memborong sapi yang sakit.

Pemilik sapi terpaksa melepas ternaknya yang dibeli sangat murah. Begitu pula harga daging sapi di tingkat RPH (Rumah Pemotongan Hewan) diguncang gejolak harga. Di Bali misalnya, terjadi provokasi kerugian besar kalangan peternak. Sapi (terdeteksi positif PMK) yang terkena “potong paksa” dagingnya dihargai murah oleh jagal (tukang sembelih hewan ternak). Jagal biasa sekaligus membeli daging sapi setelah dipotong tetapi dengan harga murah.

Harga daging sapi (hasil potong paksa) hanya senilai Rp 50 ribu per-kilogram. Padahal harga daging sapi saat ini di Bali (untuk dikirim ke luar daerah) mencapai Rp 90 ribu. Jagal berdalih hanya menjual daging. Sedangkan jerohan, kaki dan bagian mulut (cingur), dibuang. Kulit yang biasa laku cukup mahal, juga harus ditanam. Karena bulu-bulunya bisa membawa virus PMK. Pemerintah kabupaten di Bali turut berupaya meningkatkan harga daging sapi di tingkat RPH.

Ke-khawatiran lain yang melanda pedesaan, adalah “persaingan kronis” antara daging lokal dengan daging impor. Walau (awalnya) pemerintah telah menurunkan plafon jatah impor daging tahun 2022 sebanyak 266.065 ton. Menurun dibanding tahun (2021) lalu mencapai 284.277 ton. Sebenarnya produksi peternak dalam negeri diprediksi akan meningkat 3,1% menjadi 436.704 ton. Kenaikan terutama disokong dari Jawa Timur. Dengan program “Intan Selaksa” (Inseminasi Buatan Sejuta Lebih Anakan Sapi),

Saat ini di Jawa Timur tercatat menyimpan sapi sebanyak 4,9 juta ekor sapi (27% populasi nasional). Ironisnya, saat ini menjadi daerah utama wabah PMK. Sebanyak 576.853 ekor sapi perah (52,31% populasi nasional), harus digantikan seluruhnya. Wabah PMK telah “menjerumuskan” perekonomian desa. Petani yang semula belum miskin, sekarang benar-benar miskin. Sehingga pemerintah perlu memberi BLT (Bantuan Langsung Tunai) program khusus dampak MPK.

——— 000 ———

Rate this article!
PMK Guncang Pedesaan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: