Quiet Quitting: Reaksi Buruh Melawan Upah Rendah

Oleh :
Sutawi
Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menetapkan nilai Upah MinimumProvinsi (UMP) Jatim tahun 2024 sebesar Rp2.165.244,30. Naik 6,13 persen atau Rp125 ribu dari tahun sebelumnya sebesar Rp2.040.244,30.Penetapan upah minimum oleh Gubernur dilakukan setiap tahun berdasarkan kebutuhan hidup layak dan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Konferensi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jatim menilai kenaikan UMP yang hanya 6,13 persen belum layak dan tidak memenuhi rasa keadilan buruh. KSPI menghendaki kenaikan UMK tahun 2024 sebesar 15 persen atau rata-rata untuk daerah Ring 1 sebesar Rp677.580,36. Perhitungan KSPI tersebut didasarkan pada nilai inflasi tahun 2023 sebesar 3,01 persen, pertumbukan ekonomi tiap-tiap kabupaten/kota tahun berjalan, dan prediksi nilai inflasi tahun 2024 sebesar 2,8 persen, serta prediksi nilai pertumbuhan ekonomi tahun 2024 sebesar 5,2 persen.

Untuk mengawal tuntutan kenaikan UMP tahun 2024, ribuan buruh dari Gresik, Sidoarjo, dan Surabaya menggelar demo di depan Kantor Gubernur Jatim, Jl Pahlawan, kota Surabaya, pada Kamis (30/11/2023). Unjuk rasa buruh atas UMP atau UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota)yang dinilai tidak sesuai tuntutan buruh juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia, seperti Jakarta, Semarang, Bandung, Bekasi, Banten, Makassar, dan Medan. Unjuk rasa buruh menuntut kenaikan UMP atau UMK rutin terjadi setiap tahun di berbagai daerah. Namun, posisi tawar yang kalah kuat dibanding pengusaha dan penguasa menyebabkan tuntutan mereka tidak pernah diperhatikan.

Menurut teori upah efisiensi (efficiency wage), upah dapat digunakan sebagai pendorong produktivitas, motivasi,dan memperkuat hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja (Mankiw, 2007). Pertama, pekerja yang dibayar dengan upah memadai bisa membeli lebih banyak nutrisi, dan para pekerja yang lebih sehat akan lebih produktif. Kedua, upah yang tinggi menurunkan labor turnover atau turnover rate (persentase pekerja yang berhenti dari sebuah perusahaan). Artinya, semakin besar perusahaan membayar pekerjanya, semakin besar insentif mereka untuk tetap bekerja dalam perusahaan. Dengan membayar upah yang tinggi, perusahaan mengurangi frekuensi pekerja yang keluar dari pekerjaan, sekaligus mengurangi waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk menarik dan melatih pekerja baru. Ketiga, kualitas rata-rata dari tenaga kerja perusahaan bergantung pada upah yang dibayarkan kepada karyawannya. Jika perusahaan mengurangi upahnya maka pekerja terbaik bisa mengambil pekerjaan di perusahaan lain, meninggalkan pekerja tidak terdidik yang memilki lebih sedikit alternatif. Keempat, upah yang tinggi meningkatkan upaya pekerja. Teori ini menegaskan bahwa perusahaan tidak dapat memantau dengan sempurna upaya para pekerja, dan para pekerja harus memutuskan sendiri sejauh mana mereka akan bekerja keras. Para pekerja dapat memilih untuk bekerja keras, atau mereka dapat memilih untuk bermalas-malasan dengan risiko tertangkap basah dan dipecat.

Upah buruh yang rendah berpengaruh nyata terhadap rendahnya produktivitas pekerja di Indonesia. Berdasarkan data Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada 2022, Luksemburg menjadi negara dengan produktivitas tenaga kerja tertinggi di dunia, yakni mencapai USD128,1 per jam. Artinya, satu pekerja di Luksembourg dapat berkontribusi sebesar USD128,1 (Rp1,8 juta) per jam pada perekonomian negara. Irlandia menempati urutan kedua negara dengan produktivitas sebesar USD122,2 per jam. Singapura berada di urutan ketiga dengan produktivitas sebesar USD73,7 per jam. Sementara, produktivitas tenaga kerja di Indonesia hanya sebesar USD13,1 (Rp 190.000) per jam. Jumlah tersebut menempatkan Indonesia berada di urutan ke-107 dari 185 negara.

Reaksi pekerja melawan upah rendah yang berdampak rendahnya produktivitas dapat diamati pada fenomena budaya kerja yang disebut “quiet quitting” (keluar kerja diam-diam). Quiet quitting adalah perilaku seseorang yang bekerja di suatu perusahaan, institusi, atau organisasi, yang diam-diam berhenti mencurahkan kemampuan ekstra dalam bekerja dengan tujuan untuk mencapai keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan (work-life balance). Quiet quitting adalah konsep di mana pekerja memilih bekerja seperlunya, semaunya, atau semampunya sesuai cakupan tanggung jawab dan tingkatan gaji. Beberapa tanda quiet quitting antara lain tidak melakukan pekerjaan di luar jam kerja, tidak aktif berdiskusi dalam menghadiri agenda rapat, pulang tepat waktu atau bahkan lebih awal, menghindari acara-acara kantor, kurang antusias dalam bekerja serta mengejar karir, tidak melibatkan diri dalam percakapan atau aktivitas yang dianggap tidak penting, kurang memberikan kontribusi pada tim karena terlalu fokus pada pekerjaan individu, dan menurunnya produktivitas kerja.

Fenomena quiet quitting populer di kalangan pekerja dalam kategori generasi Y dan generasi Z. Bagi Gen Y dan Gen Z, cara terbaik untuk mengatasi ketidaknyamanan di tempat kerja adalah menerapkan quiet quitting. Cara tersebut dilakukan untuk mengurangi pekerjaan, meringankan beban kerja, dan pada akhirnya mencapai work-life balance. Budaya ini menjadi pegangan bagi pekerja muda dengan membatasi diri mereka dari kultur kerja lembur di luar deskripsi pekerjaan, namun tetap fokus dan produktif pada pekerjaan yang menjadi tugas pokoknya. Pekerja muda semakin mencari fleksibilitas dan makna dari pekerjaan yang mereka jalani, serta keseimbangan dan kepuasan dalam hidup. Pekerja Gen Y dan Gen Z lebih mementingkan rasa puas diri dan kebahagiaan dibanding tujuan karir. Pekerja Gen Y dan Gen Z mengartikan kesejahteraan tidak identik dengan uang, melainkan kesehatan jasmani dan rohani, atau keseimbangan antara hidup dengan pekerjaan.

Fenomena quiet quitting menimbulkan dampak tidak hanya terhadap kinerja perusahaan, institusi, atau organisasi, tetapi juga kinerja sebuah negara secara keseluruhan. Wall Street Journal pada September 2022 melaporkan bahwa sebanyak 50 persen pekerja di Amerika Serikat memilih untuk membatasi komitmen mereka terhadap pekerjaan mereka. Menurut laporan Gallup’s State of the Global Workplace: 2022 Report, penurunan keterlibatan pekerja (employee engagement)berkontribusi terhadap quiet quitting di Amerika Serikat. Sejak paruh kedua 2021 hingga 2022, tingkat keterlibatan pekerja menurun secara bertahap. Dilaporkan bahwa pekerja yang terlibat sebesar 32 persen pada 2022, menurun dari 36 persen pada 2021, sedangkan karyawan yang tidak terlibat meningkat dari 16 persen menjadi 18 persen pada periode 2021 dan 2022. Menurut laporan Gallup, quiet quitting secara global merugikan ekonomi sebesar USD7,8 triliun diukur dari nilai produktivitas yang hilang. Di Indonesia, produktivitas pekerja yang rendah menghambat visi bangsa Indonesia untuk mencapai PDB sebesar USD23.199 per kapita pada tahun 2045, seperti ditargetkan pada visi “Indonesia Emas 2045”.

——— *** ———

Tags: